Hati yang Diperbarui, Gereja yang Hidup: Makna Pemberkatan Basilika Lateran di Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
Ketapang, 8 November 2025.Suasana hening penuh syukur menyelimuti Gereja Paroki Santo Agustinus Paya Kumang pada Sabtu sore, 8 November 2025. Tepat pukul 18.00 WIB, lonceng gereja berdentang tiga kali, menandai dimulainya Perayaan Ekaristi Sabtu Sore yang sekaligus menjadi peringatan Hari Minggu Pesta Pemberkatan Gereja Basilika Lateran, yang juga mengenangkan Santo Teodorus Tiro, Martir. Dengan warna liturgi putih, suasana misa malam itu tampil khidmat dan penuh makna, menghadirkan keindahan liturgi yang sarat refleksi rohani dan sejarah iman Gereja Katolik universal.
Perayaan ini dipimpin oleh RP. Vitalis Nggeal, CP, seorang imam dari Kongregasi Pasionis (CP) yang dikenal dengan gaya kotbahnya yang dalam, reflektif, dan membangkitkan kesadaran rohani umat. Bertugas sebagai lektor adalah Saudari Saucing, sementara pemazmur dibawakan dengan penghayatan mendalam oleh Saudara Giordanetz (Danet). Iringan musik liturgi yang lembut dan mengalun indah dimainkan oleh organis, Saudari Bertha, sementara paduan suara yang mempersembahkan lagu-lagu misa adalah Koor Lingkungan Santo Yosef, dengan arahan dirigen Ibu Herklana Haini.
Dari awal perayaan, suasana doa terasa menenangkan. Hembusan angin sore Ketapang membawa aroma dupa dan cahaya lilin yang berpendar lembut di altar utama, tempat Salib Kristus berdiri tegak di atas tabernakel yang dihiasi bunga putih dan kuning, simbol kemurnian dan sukacita.
Makna Basilika Lateran: Gereja Sebagai Ibu Kandung Iman
Dalam kata pengantar misa, RP. Vitalis mengingatkan bahwa peringatan Pemberkatan Gereja Basilika Lateran memiliki makna mendalam bagi seluruh umat Katolik di dunia. Basilika Lateran, yang terletak di Roma, bukan hanya sekadar bangunan kuno yang megah, tetapi adalah simbol “Gereja Ibu” dari seluruh Gereja Katolik, karena menjadi takhta Uskup Roma, yaitu Paus sendiri.
“Gereja Lateran adalah lambang Gereja sejati, ibu yang melahirkan kita dalam iman. Setiap kali kita memperingati pemberkatan Basilika Lateran, kita diajak untuk melihat ke dalam hati kita sendiri: apakah kita juga sudah menjadi Gereja yang hidup bagi Kristus?” ujar RP. Vitalis membuka homilinya dengan nada tenang namun tegas.
Pernyataan itu menjadi jembatan menuju pesan utama dari homilinya yang bertemakan ‘Rombaklah Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali’ (Yoh 2:19). Dengan kutipan injil Yohanes ini, imam Pasionis tersebut mengajak umat merenungkan makna terdalam dari sabda Yesus yang mengguncang Bait Allah dan menegur penyimpangan dalam kehidupan rohani manusia.
Homili: RP. Vitalis Nggeal, CP,“Rombaklah Bait Allah Ini, dan Dalam Tiga Hari Aku Akan Mendirikan Kembali”
Dalam homili yang tenang namun menggugah, RP. Vitalis membagi renungannya menjadi tiga pokok besar, yang menjadi landasan spiritual misa malam itu:
-
Bait Allah yang Dirobohkan dan Didirikan Kembali
-
Bait Allah: Dari Bangunan Menjadi Hati
-
Bait Allah yang Penuh Suara Dunia
1. Bait Allah yang Dirobohkan dan Didirikan Kembali
RP. Vitalis memulai dengan menggambarkan kisah Yesus yang mengusir para pedagang dari Bait Allah. Ia menegaskan bahwa peristiwa itu bukan sekadar ledakan amarah atau tindakan emosional Yesus, melainkan sebuah tanda kasih ilahi terhadap kesucian rumah doa.
“Yesus tidak marah karena Ia benci kepada manusia, tetapi karena Ia mencintai Bapa dan ingin memulihkan martabat rumah-Nya,” ujar RP. Vitalis. “Ketika Ia berkata, ‘Jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan!’ (Yoh 2:16), itu adalah seruan profetis yang mengingatkan kita agar tidak memperlakukan hal-hal rohani sebagai alat kepentingan duniawi.”
Lebih jauh, RP. Vitalis menegaskan bahwa sabda Yesus tentang “merombak Bait Allah dan membangunnya kembali dalam tiga hari” bukan berbicara tentang gedung fisik, melainkan tentang diri-Nya sendiri. Yesus menubuatkan misteri sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya, di mana tubuh-Nya menjadi Bait Allah yang sejati, tempat Allah hadir dan menyelamatkan dunia.
Dengan gaya bahasa yang lembut namun menembus hati, RP. Vitalis berkata, “Ketika Bait Allah dunia dirobohkan oleh dosa dan kesombongan manusia, Allah sendiri yang datang untuk membangunnya kembali. Salib menjadi palu kasih yang membongkar dosa, dan kebangkitan menjadi batu penjuru bagi kehidupan baru.”
Umat mendengarkan dalam keheningan, seolah setiap kalimat imam menembus ruang hati yang paling dalam. Dalam keheningan itu, terdengar napas iman yang hidup—iman yang lahir dari kesadaran bahwa Tuhan tidak tinggal di bangunan megah, tetapi di dalam hati yang mau dibersihkan dan diperbarui.
2. Bait Allah: Dari Bangunan Menjadi Hati
Pada bagian kedua homilinya, RP. Vitalis mengajak umat menyingkap makna terdalam dari sabda Yesus: “Ia berbicara tentang Bait Allah tubuh-Nya.” (Yoh 2:21). Ia menjelaskan bahwa sejak kebangkitan Yesus, kehadiran Allah tidak lagi terbatas pada gedung batu, tetapi berdiam di dalam hati manusia.
“Setiap kali kita menyambut Ekaristi, Tuhan tinggal dalam diri kita. Tubuh dan Darah Kristus menyatu dengan jiwa kita. Maka hati kita menjadi Bait Allah yang hidup,” ujarnya.
Namun, imam itu juga mengingatkan bahwa banyak hati manusia kini berubah menjadi pasar duniawi—tempat transaksi kepentingan, ambisi, dan kebisingan. “Tuhan ingin rumah doa, tetapi kita sering menjadikannya pusat dagang ego, iri, dan kesombongan,” tambahnya.
Ia mengajak umat untuk bertanya kepada diri sendiri:
“Apakah hatiku masih menjadi rumah doa, atau telah berubah menjadi pasar duniawi?”
Pertanyaan itu menggema di tengah umat yang hening. Beberapa umat tampak menunduk, merenungkan hidup mereka. Seorang ibu terlihat menyeka air mata; seorang anak muda memandang salib di altar, seolah mendengar panggilan untuk bertobat.
RP. Vitalis melanjutkan dengan lembut, “Hati kita harus dijaga, disucikan, dan dijadikan tempat tinggal Roh Kudus. Sebab di situlah Tuhan ingin berdiam, bukan di antara hiruk-pikuk kesombongan manusia, melainkan dalam kesederhanaan dan cinta.”
Ia menegaskan bahwa menjadi umat Katolik bukan hanya berarti pergi ke gereja, tetapi menjadi gereja itu sendiri—tempat di mana kasih Allah hadir dan nyata.
3. Bait Allah yang Penuh Suara Dunia
Dalam poin ketiga, RP. Vitalis menyoroti tantangan zaman modern yang membuat hati manusia semakin bising. Dunia kini dipenuhi dengan suara ambisi, kesibukan, kecemasan, pencitraan digital, dan keinginan untuk diakui. Semua itu, kata imam, menjadi “pedagang rohani” yang sibuk bertransaksi dalam batin manusia.
“Banyak orang datang ke gereja, tetapi hatinya tidak tenang karena masih berdagang dengan dunia. Kita menukar kedamaian rohani dengan kesibukan, menukar doa dengan notifikasi, menukar kasih dengan komentar di layar,” ungkap RP. Vitalis dengan nada reflektif.
Ia melanjutkan, “Yesus ingin membalikkan semua meja yang mengotori hati kita. Ia ingin membersihkan pasar jiwa dari kebohongan, kemunafikan, dan kepura-puraan iman. Ia datang bukan untuk menghancurkan kita, tetapi untuk menyembuhkan.”
Homili itu menegaskan bahwa pertobatan sejati adalah proses harian, bukan peristiwa sesaat. “Setiap hari Tuhan datang dan berkata kepada kita: ‘Singkirkan semua ini dari sini.’ Ia tidak marah karena benci, tetapi karena cinta. Ia ingin hati kita kembali murni sebagai rumah-Nya,” tegasnya.
Refleksi: Membersihkan Hati Setiap Hari
Setelah homili yang panjang dan penuh makna, RP. Vitalis menutup dengan doa pendek namun dalam:
“Tuhan Yesus, Engkau datang untuk membersihkan Bait Allah dari segala yang kotor. Bersihkan juga hatiku, rumah tempat Engkau tinggal. Hancurkan semua kelekatan yang menjauhkan aku dari kasih-Mu, dan jadikan aku bait suci-Mu yang hidup. Amin.”
Keheningan pun menyelimuti seluruh gereja. Hanya suara kipas angin dan tarikan napas lembut umat yang terdengar. Dalam keheningan itu, seolah-olah umat membiarkan Yesus sendiri masuk ke dalam hati mereka untuk membersihkan setiap sudut batin yang ternoda oleh dosa.
Makna Historis dan Teologis: Basilika Lateran Sebagai Simbol Kesatuan
Setelah homili, dalam pengumuman singkat, RP. Vitalis menambahkan penjelasan tentang makna historis Basilika Lateran. Basilika Lateran, katanya, adalah gereja pertama yang disahkan secara resmi setelah Kekristenan diakui oleh Kaisar Konstantinus pada abad ke-4. Didedikasikan bagi Kristus Juru Selamat, basilika ini menjadi simbol kesatuan umat beriman di bawah satu kepemimpinan, yaitu Paus, Uskup Roma.
“Perayaan hari ini mengingatkan kita bahwa Gereja bukan hanya bangunan, tetapi komunitas umat Allah yang hidup dan dipersatukan oleh Kristus,” jelas RP. Vitalis.
Ia mengajak umat untuk mencintai Gereja, mendukung para pelayan pastoral, dan menjaga kekudusan tempat ibadah sebagai rumah doa sejati.
Suasana Ibadah yang Hidup dan Bersemangat
Misa Sabtu sore itu diwarnai dengan nyanyian yang menggugah jiwa. Koor Lingkungan Santo Yosef membawakan lagu pembukaan “Bersukacitalah di Rumah Tuhan” dengan harmoni yang indah, diiringi dentingan organ lembut dari Saudari Bertha. Umat tampak ikut bernyanyi, merasakan sukacita iman yang nyata.
Pada bagian persembahan, lagu “Bagaikan Bejana” terdengar mengalun lembut, mengiringi barisan umat yang membawa persembahan. Nyanyian itu menjadi simbol kerendahan hati manusia yang menyerahkan diri untuk dibentuk oleh tangan Allah.
Suasana semakin hening ketika umat menyambut Tubuh dan Darah Kristus. RP. Vitalis membagikan Komuni dengan wajah teduh dan penuh kasih. Umat menyambut dengan tangan terkatup, menyadari bahwa mereka menerima Yesus yang hidup, yang ingin berdiam dalam hati mereka.
Gereja Sebagai Rumah Doa, Bukan Tempat Transaksi
Dalam sesi penutup misa, RP. Vitalis menegaskan kembali pesan utama Injil hari itu: Gereja adalah rumah doa, bukan tempat transaksi atau kepentingan pribadi. Ia menyoroti bagaimana dalam hidup menggereja, ada kalanya manusia tergoda untuk membawa semangat “pasar” ke dalam Gereja—semangat mencari pujian, kedudukan, atau keuntungan pribadi.
“Kalau hati kita bersih, Gereja pun akan bersinar. Tetapi kalau hati kita menjadi kotor, Gereja menjadi redup,” katanya. “Mari kita bersihkan hati kita agar Gereja Kristus bersinar di dunia.”
Pesan Moral: Martabat, Pertobatan, dan Cinta
Dalam penutupan, RP. Vitalis menegaskan bahwa kemarahan Yesus di Bait Allah adalah kemarahan kenabian, bukan dendam manusiawi. Ia marah demi memulihkan martabat tempat suci dan kemurnian ibadah.
“Ketika Pastor menegur, ketika Gereja mengoreksi, semua itu bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk memulihkan. Semua dalam konteks kasih yang terarah,” tegasnya.
Ia mengingatkan umat agar tidak takut ditegur demi kebenaran. “Penyembahan sejati tidak bisa dicampur dengan kepura-puraan. Bila ada yang salah, harus dikoreksi agar Gereja tetap murni,” tambahnya.
Penutup: Tiga Hari yang Mengubah Segalanya
Menutup misa, RP. Vitalis kembali mengingatkan sabda Yesus yang menjadi tema perayaan:
“Rombaklah Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.”
Bagi manusia, tiga hari itu mungkin tampak sebentar, tetapi dalam rencana Allah, tiga hari itu mengubah segalanya: dari salib ke kebangkitan, dari kematian menuju kehidupan, dari kehancuran menuju kemuliaan.
“Bait Allah sejati adalah Kristus yang bangkit. Ia tidak bisa dihancurkan oleh manusia. Kini Ia hidup dalam kita semua. Jadikanlah dirimu Bait Allah yang hidup, tempat kasih Allah berdiam dan bekerja,” tutup RP. Vitalis.
Setelah doa penutup, umat menyanyikan lagu “Tinggal Dalam Kasih-Mu” sebagai penutup misa. Suasana penuh damai menyelimuti gereja. Umat keluar dengan wajah yang tenang, membawa pulang pesan kuat dari homili malam itu: bahwa setiap hati adalah gereja kecil yang perlu dibersihkan setiap hari agar Tuhan berkenan tinggal di dalamnya.
Makna Mendalam Bagi Umat Paroki Santo Agustinus
Bagi umat Paroki Santo Agustinus Paya Kumang, misa Sabtu sore ini bukan sekadar perayaan liturgi rutin, melainkan momen pembaruan iman. Banyak umat merasa tersentuh oleh homili RP. Vitalis yang tegas namun lembut.
Pesan tentang membersihkan “pasar batin” menjadi refleksi pribadi bagi banyak orang. Dalam kehidupan yang penuh distraksi digital, umat diajak untuk kembali ke inti iman: kesederhanaan, doa, dan kasih.
Keterlibatan para petugas liturgi dari Lingkungan Santo Yosef juga menjadi tanda semangat kebersamaan antar lingkungan di paroki ini. Dengan paduan suara yang rapi dan disiplin, mereka tidak hanya memperindah liturgi, tetapi juga menjadi contoh pelayanan dengan hati.
Kesimpulan: Menjadi Gereja yang Hidup dan Murni
Perayaan Ekaristi Sabtu sore di Paroki Santo Agustinus Paya Kumang pada 8 November 2025 menjadi pengingat bahwa Gereja sejati bukan hanya bangunan yang megah, melainkan hati yang dipenuhi kasih Kristus.
Melalui homili RP. Vitalis Nggeal, CP, umat diingatkan akan panggilan untuk terus memperbarui hati, membersihkannya dari segala bentuk pasar duniawi, dan menjadikannya rumah doa sejati bagi Allah.
Pesan ini menjadi relevan di tengah dunia modern yang semakin sibuk, di mana manusia mudah kehilangan keheningan batin. Gereja, melalui Sabda dan Sakramen, terus mengajak setiap umat untuk kembali pada inti iman: kasih, pertobatan, dan kesetiaan.
Malam itu, Gereja Santo Agustinus Paya Kumang bukan hanya berdiri sebagai bangunan fisik, tetapi menjadi tanda hidup Gereja universal yang murni, kudus, dan penuh kasih.
Dan ketika lonceng gereja berdentang menandai berakhirnya perayaan, umat meninggalkan bangku-bangku kayu itu dengan satu keyakinan dalam hati:
“Aku adalah Bait Allah. Tuhan tinggal di dalamku. Dan setiap hari, Ia ingin membuatku baru.”
📍Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
🕊️ Gembala Umat, Pelita Iman, Sahabat Jiwa
Ditulis oleh: Tim Redaksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
Tanggal: 8 November 2025
0 comments:
Posting Komentar