Mengapa Pikiran Negatif Lebih Cepat Masuk? Renungan Prodiakon Bapak.Daduanto Mengajak Umat Melatih Hati yang Bersyukur dan Positif


Foto Bapak Daduanto

Pesan Rohani Katekese Bapak Daduanto: Menjernihkan Pikiran dari Hal Negatif dan Melatih Syukur di Tengah Hidup yang Semakin Cepat


Ketapang, 7 November 2025.Tepat pada pukul 11.00 WIB, suasana di Lingkungan Santa Lusia, Paroki Santo Agustinus Paya Kumang, Keuskupan Ketapang, terasa begitu hening namun hangat. Di tengah kesibukan hidup umat, sebuah pesan rohani sederhana kembali hadir menyapa jiwa, kali ini melalui kegiatan Katekese Bapak Daduanto, seorang Prodiakon yang dikenal setia melayani umat dan memiliki semangat penggembalaan yang penuh kasih.

Dalam kesempatan tersebut, Daduanto mengajak para umat untuk merenungkan tema yang tampak sederhana, namun sesungguhnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari: “Mengapa hal negatif lebih cepat masuk ke pikiran kita?” Sebuah pertanyaan yang sering muncul tanpa disadari, terutama di tengah kehidupan modern yang serba cepat, penuh tekanan, dan tidak jarang disertai dengan banjir informasi yang kadang justru melelahkan batin.

Renungan ini menjadi panggilan bagi setiap umat untuk menyadari bagaimana cara kerja pikiran manusia, sekaligus menemukan jalan sederhana untuk memelihara ketenangan hati melalui syukur dan kesadaran diri.

Bagian Pertama: Otak yang Dirancang Lebih Peka terhadap Ancaman

Dalam pembukaan katekese, Daduanto menjelaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan alami untuk lebih cepat menangkap hal-hal yang bersifat negatif. Hal ini bukanlah kesalahan moral, melainkan bagian dari rancangan biologis otak manusia itu sendiri.

Ia menegaskan bahwa di dalam otak terdapat bagian bernama amigdala, yaitu struktur kecil berbentuk almond yang bertugas mendeteksi ancaman. Sejak zaman purba, amigdala berfungsi sebagai sistem peringatan dini agar manusia dapat bertahan hidup di tengah bahaya. Dulu, ketika manusia hidup di alam liar, kemampuan mendeteksi ancaman seperti suara hewan buas, perubahan cuaca ekstrem, atau tanda bahaya lainnya menjadi hal vital agar seseorang bisa segera bereaksi dan menyelamatkan diri.

Namun, meski zaman telah berubah, mekanisme dasar otak ini tetap bekerja sama seperti dahulu. Kini, yang dianggap ancaman bukan lagi hewan buas, melainkan kata-kata yang menyakitkan, tekanan pekerjaan, berita buruk, atau komentar negatif di media sosial. Otak kita masih menafsirkan hal-hal itu sebagai bahaya yang harus segera ditanggapi. Akibatnya, pikiran kita lebih cepat menangkap hal buruk, suara keras, kata kasar, atau kekecewaan daripada ketenangan dan pujian.

Makin sering kita melihat yang negatif, makin cepat hal itu masuk ke hati dan pikiran kita,” ujar Daduanto dengan nada lembut namun tegas, mengingatkan para peserta agar memahami bagaimana alam bawah sadar mereka bekerja.

Umat diajak untuk tidak menyalahkan diri sendiri ketika merasa lebih peka terhadap hal-hal buruk, karena sesungguhnya demikianlah cara kerja otak manusia. Tetapi, di sisi lain, umat diajak untuk menyadari bahwa kemampuan itu perlu diimbangi dengan latihan rohani dan mental, agar tidak terjebak dalam lingkaran pikiran negatif yang melelahkan.

Bagian Kedua: Keraguan terhadap Hal Positif

Setelah menjelaskan sisi biologis dari pikiran manusia, Daduanto melanjutkan dengan menyentuh sisi psikologis dan rohani yang lebih dalam. Ia mengajak para umat untuk merenungkan kebiasaan sehari-hari yang sering kali tidak disadari  kebiasaan meragukan hal positif.

Ia menggambarkan dengan contoh yang sangat dekat:
Ketika seseorang dipuji karena hasil kerjanya, sering kali reaksi spontan yang muncul bukanlah rasa syukur atau penerimaan, melainkan keraguan. Umat tersenyum mendengar Daduanto menirukan kalimat yang sering diucapkan banyak orang, “Ah masa sih? Ini cuma basa-basi ya?”

Namun, ketika menerima kritik, responnya berbeda: “Iya ya, bener juga. Aku memang kurang baik.”

Dengan nada yang lembut namun mengena, Daduanto berkata, “Kita lebih cepat percaya yang buruk tentang diri sendiri, daripada menerima bahwa kita sebenarnya layak dihargai.

Kalimat itu membuat ruangan hening sejenak. Para peserta menyadari bahwa betapa sering mereka menolak pujian, namun dengan mudah mengizinkan kritik melekat dalam hati. Dalam konteks iman, hal ini menunjukkan kurangnya rasa syukur dan penerimaan diri sebagai ciptaan Allah yang berharga.

Daduanto menegaskan bahwa sikap ini tidak boleh dianggap sepele. Ketika seseorang terus-menerus mengizinkan pikiran negatif mendominasi, maka lambat laun ia akan kehilangan citra dirinya sebagai anak Allah. Ia akan sulit melihat keindahan yang Tuhan tanamkan dalam dirinya, dan kehilangan kemampuan untuk bersyukur atas hal-hal kecil yang sebenarnya penuh makna.

Bagian Ketiga: Bahaya Menumpuknya Hal Negatif

Dalam lanjutan renungan, Daduanto memaparkan bahwa menumpuknya pikiran negatif bukan hanya persoalan suasana hati, tetapi bisa menjadi beban hidup yang serius. Pikiran yang terus-menerus diselimuti hal buruk dapat menyebabkan kecemasan, stres kronis, hilangnya kepercayaan diri, mudah marah, dan bahkan putus asa.

Ia menggambarkan bahwa manusia seperti wadah. Bila wadah itu diisi air jernih, maka air yang keluar juga jernih. Namun bila diisi air keruh, maka yang mengalir keluar pun kekeruhan. Demikian pula hati manusia: bila penuh dengan prasangka dan pikiran buruk, maka tutur kata, keputusan, dan perilaku pun akan mencerminkan hal yang sama.

Daduanto mengingatkan bahwa salah satu dampak terbesar dari pikiran negatif adalah sulitnya seseorang melihat sisi baik dari hidup. Ketika seseorang terbiasa berfokus pada kekurangan, maka segala sesuatu akan tampak tidak cukup. Ia kehilangan kemampuan untuk melihat berkat Tuhan yang hadir dalam hal-hal kecil, seperti udara yang dihirup, keluarga yang mendukung, pekerjaan yang memberi kesempatan, atau bahkan tubuh yang masih diberi kekuatan untuk beraktivitas.

Negativitas membuat kita lupa bahwa hidup ini sesungguhnya adalah anugerah.” kalimat itu disampaikan dengan penuh keteduhan. Dalam suasana reflektif, para peserta tampak menundukkan kepala, seolah sedang memeriksa isi hati mereka masing-masing.

Bagian Keempat: Melatih Pikiran Agar Lebih Seimbang dan Positif

Daduanto kemudian menegaskan bahwa meskipun otak manusia cenderung lebih cepat menyerap hal negatif, bukan berarti umat tidak bisa mengubahnya. Ia mengatakan bahwa pikiran positif dapat dilatih, dan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk membentuk pola pikir yang lebih sehat dan seimbang.

Ia mengajak umat untuk melihat proses ini seperti melatih otot. Otot yang jarang digunakan akan lemah, tetapi bila dilatih secara konsisten, otot akan menjadi kuat. Demikian pula dengan pikiran. Bila seseorang membiasakan diri untuk berpikir positif, maka lambat laun hal itu akan menjadi bagian dari dirinya.

Daduanto kemudian memaparkan lima cara sederhana yang dapat dilakukan oleh siapa pun, bahkan dalam kesibukan sehari-hari:

1. Melatih Rasa Syukur

Ia mengajak umat untuk mulai dari hal paling sederhana  menulis tiga hal baik setiap hari. Tidak perlu sesuatu yang besar. Bisa sesederhana “masih bisa bangun pagi”, “bisa tersenyum kepada orang lain”, atau “mendapat kabar baik dari keluarga.”

Dengan melatih rasa syukur, seseorang diajak untuk menggeser fokus dari kekurangan menuju kelimpahan yang Tuhan berikan. Rasa syukur membuat hati menjadi ringan, karena seseorang belajar menerima bahwa tidak semua hal harus sempurna untuk bisa membuatnya bahagia.

2. Menyadari Isi Pikiran

Daduanto mengingatkan bahwa setiap pikiran negatif yang muncul perlu disadari, bukan ditolak, melainkan dikenali. Ketika pikiran buruk datang, tanyakan pada diri sendiri: “Apakah ini fakta, atau hanya ketakutan?”

Pertanyaan sederhana ini membantu seseorang untuk tidak langsung percaya pada isi pikirannya sendiri. Sebab tidak semua yang muncul di kepala adalah kebenaran. Banyak di antaranya hanyalah bayangan dari kekhawatiran yang belum tentu terjadi.

Dengan mengenali pola pikir sendiri, seseorang dapat mengambil kendali atas batinnya, bukan sebaliknya.

3. Bersahabat dengan Orang-Orang Positif

Lingkungan memiliki peran besar dalam membentuk cara berpikir. Daduanto menekankan pentingnya bergaul dengan orang-orang yang membawa damai dan semangat hidup. Ia berkata, “Teman yang penuh syukur akan menulari kita dengan rasa syukur, tapi teman yang suka mengeluh juga akan menulari kita dengan keluhan.”

Oleh karena itu, umat diajak untuk bijak memilih lingkungan pergaulan. Bukan berarti menjauh dari mereka yang sedang berjuang, tetapi menjaga diri agar tidak terseret dalam arus negativitas. Menjadi terang berarti tetap hadir, tetapi dengan hati yang kuat dan damai.

4. Membatasi Paparan Berita Buruk dan Gosip

Di era digital saat ini, banjir informasi bisa menjadi berkat sekaligus beban. Daduanto mengingatkan bahwa tidak semua yang ada di layar ponsel harus diserap. Terlalu sering membaca berita buruk atau mendengarkan gosip hanya akan memperkuat bias negatif dalam otak.

Kita tidak bisa mengendalikan apa yang dunia beritakan, tapi kita bisa mengendalikan seberapa banyak yang kita izinkan masuk ke hati,” ujarnya.

Dengan membatasi paparan hal-hal buruk, seseorang dapat menjaga ketenangan batin dan ruang pikirnya tetap bersih dari racun emosional.

5. Mengembangkan Self-Talk Positif

Yang terakhir, Daduanto menekankan pentingnya berbicara baik kepada diri sendiri. Banyak orang terbiasa bersikap lembut kepada orang lain, namun sangat keras kepada dirinya sendiri. Ia mengajak umat untuk berbicara kepada diri sendiri seperti kepada sahabat.

Ketika gagal, katakan: “Tidak apa-apa, aku sudah berusaha.”
Ketika sedih, katakan: “Aku berhak beristirahat.”
Ketika takut, katakan: “Aku tidak sendiri, Tuhan menyertaiku.”

Dengan berbicara baik kepada diri sendiri, seseorang sedang menanamkan kasih di dalam batinnya. Kasih itu akan bertumbuh menjadi kekuatan untuk mencintai sesama dengan lebih tulus.

Bagian Kelima: Makna Rohani di Balik Latihan Pikiran Positif

Setelah memaparkan cara-cara praktis, Daduanto mengaitkan semuanya dengan iman Kristiani. Ia mengingatkan bahwa latihan mengelola pikiran bukan hanya persoalan psikologi, tetapi juga bagian dari panggilan iman untuk menguduskan batin.

Dalam Kitab Suci, Rasul Paulus pernah menulis, “Pikirkanlah segala sesuatu yang benar, mulia, adil, suci, manis, dan sedap didengar” (Flp 4:8). Ayat ini, menurut Daduanto, bukan sekadar ajakan moral, tetapi juga petunjuk praktis untuk menjaga kedamaian hati.

Ketika seseorang membiasakan diri berpikir tentang hal-hal yang baik, maka hatinya akan tenang, wajahnya berseri, dan tindakannya membawa damai bagi sesama. Pikiran yang jernih adalah lahan subur bagi karya Roh Kudus.

Ia mengingatkan bahwa Kristus sendiri selalu menatap manusia dengan kasih, bukan dengan penilaian. Maka, setiap umat juga dipanggil untuk melihat diri sendiri dengan kasih, sebagaimana Allah memandang anak-anak-Nya dengan lembut.

Bagian Keenam: Penutup – Pesan untuk Umat

Di penghujung katekese, suasana terasa sangat hening. Umat menyimak dengan penuh perhatian ketika Daduanto menutup renungannya dengan kalimat sederhana namun sangat menyentuh:

Hidup ini tidak akan pernah lepas dari hal-hal negatif, tetapi kita punya kuasa untuk menentukan seberapa lama hal itu tinggal di hati kita.

Ia mengajak semua umat untuk mulai hari ini melatih diri agar lebih sadar, lebih bersyukur, dan lebih penuh kasih. Karena pada akhirnya, kebahagiaan bukan datang dari keadaan luar, tetapi dari batin yang mampu melihat terang di tengah gelap.

Sebelum mengakhiri, Daduanto menambahkan doa singkat, mendoakan agar setiap umat yang hadir diberikan ketenangan pikiran, hati yang lembut, dan keberanian untuk menanamkan kebaikan dalam keseharian.

Suasana pertemuan itu ditutup dengan keheningan doa pribadi. Setiap peserta tampak merenung, seolah sedang berbicara dengan Tuhan dalam diam. Tidak ada musik, tidak ada tepuk tangan, hanya kedamaian yang perlahan-lahan meresap di setiap hati.

Epilog: Suara Hati yang Menyapa Umat

Pesan sederhana dari Daduanto dalam katekese ini meninggalkan kesan mendalam. Ia tidak berbicara tentang hal-hal yang rumit, tetapi menyentuh persoalan yang dialami hampir setiap orang  bagaimana menjaga pikiran agar tetap bersih, hati tetap tenang, dan hidup tetap berpengharapan di tengah dunia yang sering kali penuh tekanan.

Katekese ini menjadi pengingat bahwa iman dan psikologi tidaklah terpisah, melainkan saling melengkapi. Iman memberi arah, sementara kesadaran diri memberi langkah konkret. Ketika keduanya bersatu, lahirlah kehidupan rohani yang sehat, kuat, dan realistis.

Dalam keheningan siang di Ketapang, pesan itu bergema lembut di hati umat:
Bahwa setiap pikiran yang kita pelihara adalah benih. Bila kita menanam yang baik, maka yang tumbuh adalah damai. Bila kita menanam yang buruk, maka yang tumbuh adalah resah.

Dan di tengah dunia yang penuh kebisingan, katekese sederhana ini menjadi seperti angin sejuk bagi jiwa yang lelah, mengingatkan bahwa Tuhan selalu hadir dalam keheningan pikiran yang bersyukur.

Semoga bermanfaat.
Pesan rohani sederhana dari Katekese Bapak Daduanto,
Prodiakon Paroki Santo Agustinus Paya Kumang, Keuskupan Ketapang
Lingkungan Santa Lusia – 7 November 2025, pukul 11.00 WIB.

📍Paroki Santo Agustinus Paya Kumang

🕊️ Gembala Umat, Pelita Iman, Sahabat Jiwa

Ditulis oleh: Tim Redaksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Santo Agustinus Paya Kumang

Tanggal:   7  November  2025

About Gr.SAPRIYUN,S.ST.Pi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 comments:

Posting Komentar