Misa Syukur Lingkungan St. Lusia: Merayakan Iman, Mensyukuri Berkat, dan Meneguhkan Keteguhan Hati dalam Tuhan
Ketapang, 26 November 2025.Lingkungan St. Lusia Paroki Santo Agustinus Paya Kumang kembali menandai perjalanan hidup menggereja yang hangat, penuh syukur, dan sarat makna melalui pelaksanaan misa syukur yang digelar pada Selasa malam, 25 November 2025, pukul 18.30 WIB. Perayaan Ekaristi yang berlangsung di kediaman Bapak Melanius Momang, S.IP., ini menghadirkan suasana yang akrab dan sekaligus penuh kekhidmatan, dipimpin oleh RP. Vitalis Nggeal, CP., seorang imam Kongregasi Pasionis yang sudah dikenal oleh umat sebagai sosok pengajar iman yang sederhana, lugas, dan dekat dengan umat.
Perayaan doa syukur di rumah umat selalu menjadi bagian penting dalam dinamika pastoral Lingkungan St. Lusia. Selain memperkuat relasi antaranggota lingkungan, kehadiran imam dalam lingkup keluarga memberikan sentuhan spiritual yang lebih personal. Misa malam itu menjadi ruang bagi umat untuk menghidupi kembali pengalaman iman yang nyata: bahwa Allah yang agung dan kekal itu mau hadir dalam rumah-rumah sederhana, duduk di tengah keluarga, dan mempersatukan umat dalam doa serta ucapan syukur.
Suasana misa semakin indah dengan pelayanan liturgis yang dihidupi secara penuh oleh para petugas lingkungan. Bacaan pertama dibacakan oleh Saudari Brigita Dianing Pratiwi dengan suara jelas dan tenang, mempersiapkan umat memasuki pesan Kitab Daniel. Mazmur Tanggapan dilantunkan oleh Ibu Efriana Pipin yang dengan intonasi lembut mengajak umat meresapkan setiap bait pujian. Lagu-lagu liturgi dipimpin oleh Ibu Lucia Nilus yang terkenal teliti dalam menjaga harmonisasi nada, sehingga umat benar-benar diarahkan untuk berdoa melalui nyanyian. Setelah misa, Bapak Yohanes Sigit Kurnianto mengemban tugas memberikan pengantar dan doa makan sebagai penutup rangkaian acara.
Acara syukur ini tak sekadar menjadi momen seremoni. Pusat maknanya terletak pada refleksi iman yang dibawakan oleh pastor dalam homili. Melalui bacaan dari Kitab Daniel dan Injil Lukas, RP. Vitalis mengajak umat merenungkan kembali kesementaraan dunia ini dan kekekalan Allah yang menjadi dasar kokoh iman Kristiani. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern dan godaan untuk menaruh harapan pada kekuatan manusia, misa malam itu menghadirkan pesan tegas: hanya yang dibangun di atas Allah yang akan bertahan selamanya.
Berikut laporan lengkapnya.
Misa Syukur sebagai Tradisi Iman Lingkungan St. Lusia
Lingkungan St. Lusia dalam Paroki Santo Agustinus Paya Kumang dikenal sebagai salah satu lingkungan yang aktif, dinamis, dan memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat. Tradisi menggelar misa syukur di rumah umat menjadi bagian dari identitas pastoral lingkungan ini. Perayaan liturgi di rumah tidak hanya memindahkan ruang sakral ke tengah rumah tangga, tetapi juga menghidupkan kembali gambaran gereja perdana yang berkumpul dari rumah ke rumah untuk memecah-mecahkan roti.
Malam Selasa menjelang akhir November itu menjadi salah satu momen yang memperlihatkan wajah Gereja Katolik yang berakar dalam kehidupan umat. Kehadiran kursi-kursi sederhana yang ditata rapi, lilin-lilin yang menyala redup, altar kecil yang ditata dengan teliti, salib yang ditempatkan di tengah, serta wangi dupa yang perlahan mengisi ruangan semuanya memberi nuansa bahwa rumah itu berubah menjadi ruang doa yang hidup.
Untuk keluarga Bapak Melanius Momang, S.IP., misa syukur ini merupakan ungkapan terima kasih atas berkat Tuhan yang diterima dalam kehidupan keluarga. Ada rasa syukur yang mendalam: atas kesehatan, pekerjaan, kesempatan, dan perlindungan Tuhan yang tak pernah putus. Kesadaran itu membuat keluarga membuka rumah mereka bagi umat dan pastor, menghadirkan suasana kebersamaan yang mendalam.
Dalam berbagai kesempatan, lingkungan ini memang kerap menempatkan misa syukur sebagai sarana memperkuat solidaritas iman. Para lansia, OMK, dan keluarga muda turut hadir, menjadikan misa malam itu bukan hanya milik satu keluarga, tetapi milik seluruh umat yang ingin merayakan kasih Tuhan yang menyatukan mereka.
Liturgi yang Dilayani dengan Ketekunan dan Kesederhanaan
Pelaksanaan liturgi dalam misa syukur selalu menjadi sorotan penting karena menjadi ungkapan iman umat yang menyediakan waktu dan diri untuk melayani. Meski berlangsung di rumah, layanan liturgi tetap dibuat rapi dan terkoordinasi, mencerminkan kedisiplinan umat Lingkungan St. Lusia.
Saudari Brigita Dianing Pratiwi, yang dipercayakan membacakan bacaan pertama, tampil penuh penghayatan. Teks dari Kitab Daniel dibacakan dengan artikulasi jelas sehingga umat dapat menangkap pesan kuat tentang mimpinya Raja Nebukadnezar dan patung besar yang akhirnya runtuh dihancurkan oleh batu yang berasal dari Allah. Suara Brigita memberikan nuansa dramatik yang tepat mempertegas pesan bahwa segala sesuatu yang dibuat manusia bersifat fana.
Mazmur tanggapan yang dilantunkan oleh Ibu Efriana Pipin menghadirkan suasana doa yang lembut. Mazmur selalu berfungsi sebagai jembatan meditasi antara bacaan dan hati umat. Dengan suara halusnya, ia mengarahkan umat untuk memuliakan Tuhan dan membuka hati menerima sabda.
Nyanyian-nyanyian rohani dipimpin oleh Ibu Lucia Nilus, sosok yang telah lama membaktikan diri pada pelayanan musik di lingkungan. Lagu-lagu yang dipilihnya membawa umat pada suasana kontemplatif namun hangat, menggugah hati untuk lebih dalam menyadari kehadiran Tuhan. Setiap nada menjadi bentuk doa yang terangkat ke hadapan Tuhan.
Setelah perayaan liturgi selesai, peran Bapak Yohanes Sigit Kurnianto sebagai pembawa pengantar dan doa makan menjadi penutup harmonis rangkaian kegiatan. Doanya mencerminkan kesadaran bahwa syukur bukan hanya diucapkan lewat liturgi, tetapi diteruskan dalam kebersamaan sebagai keluarga besar lingkungan.
Homili RP. Vitalis Nggeal, CP.: Dunia yang Fana dan Allah yang Kekal
Pusat kekuatan misa malam itu berada dalam homili yang dibawakan RP. Vitalis Nggeal, CP. Dengan gaya berkhotbah yang khas sederhana, komunikatif, dan berbasis pada pengalaman konkret Pastor Vitalis membawa umat menyelami pesan Kitab Daniel dan Injil Lukas dengan cara yang hidup.
Kisah Nebukadnezar: Patung Megah yang Runtuh
Bacaan pertama dari Kitab Daniel mengisahkan tentang mimpi Raja Nebukadnezar, di mana ia melihat sebuah patung raksasa. Kepala patung itu terbuat dari emas, dadanya dari perak, perut dan pinggangnya dari tembaga, kakinya dari besi, dan sebagian dari tanah liat. Gambaran itu penuh simbol tentang kerajaan dunia yang megah namun rapuh. Bagian paling menarik, menurut pastor, adalah bahwa seluruh patung itu pada akhirnya luluh lantak ketika sebuah batu yang bukan hasil tangan manusia—menghantam kakinya.
Di sinilah pesan utamanya: segala yang dibangun manusia, betapa pun megah dan memukau, memiliki masa berlakunya. Semuanya akan punah. Ada masa kadaluwarsanya. Bahkan kerajaan Nebukadnezar yang begitu bertenaga runtuh dalam sejarah. Tak ada kemuliaan ciptaan manusia yang berdiri selamanya.
Pastor Vitalis menegaskan bahwa manusia cenderung mengabadikan tindakannya melalui monumen, bangunan besar, reputasi, atau pencapaian tertentu. Namun semua itu rapuh. Semua itu bisa hilang dalam sekejap jika Allah menghendaki. Hanya yang berasal dari Allah—yang dibangun atas dasar diri-Nya—yang akan kekal dan abadi.
Injil Lukas: Batu Demi Batu yang Akan Runtuh
Injil malam itu diambil dari Luk. 21:6: “Tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan.”
Yesus menyampaikan nubuat ini ketika para murid terkagum-kagum melihat keindahan Bait Allah. Bagi bangsa Israel, Bait Allah adalah pusat kehidupan rohani, simbol kemuliaan Tuhan, tempat Tuhan berdiam. Namun Yesus mengingatkan bahwa keindahan dan kemegahan itu akan hancur.
Pesannya selaras dengan visi Kitab Daniel: segala sesuatu di dunia ini bersifat sementara. Kekuasaan, status, bangunan megah, teknologi, popularitas, dan berbagai prestasi manusia bukanlah fondasi abadi. Semuanya dapat runtuh kapan saja oleh peperangan, bencana alam, ketidakstabilan hidup, atau sekadar berlalunya waktu.
Pastor Vitalis menafsirkan bahwa Yesus sedang mengajak para murid untuk mengalihkan fokus dari bangunan luar menuju bangunan batin. Manusia sering terjebak dalam pesona hal-hal duniawi, tetapi lupa membangun jiwanya. Padahal, hanya hidup yang berakar dalam Allah yang tidak akan pernah terguncangkan oleh perubahan zaman.
Membangun Hidup di Atas Batu Karang Iman
Pastor Vitalis kembali menghubungkan bacaan Injil dengan kehidupan sehari-hari umat. Ia menegaskan bahwa orang yang mendengarkan sabda Tuhan dan melaksanakannya adalah seperti orang yang membangun rumah di atas batu karang. Rumah ini tetap kukuh meski dihantam badai.
Dalam bahasa yang sederhana dan menyengat, pastor menyampaikan: “Iman itu menjadi kuat kalau ada rasa syukur.” Pesan ini ditekankan sembari mengaitkan dengan ungkapan hati keluarga Bapak Melanius Momang yang mengadakan misa sebagai bentuk syukur atas berkat Tuhan. Syukur membuka hati untuk melihat bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Dari situlah iman diteguhkan.
Pastor menambahkan dengan senyum penuh kehangatan bahwa semoga Bapak Melanius Momang cepat mendapatkan jodoh, sebuah doa yang disambut canda hangat umat yang hadir. Namun lebih dari sekadar doa, pastor ingin menegaskan bahwa Tuhan selalu melengkapi setiap kehendak baik umat-Nya pada waktu yang tepat.
Penjelasan Teologis: Kesementaraan Dunia dan Kekekalan Allah
Dunia yang Tak Pernah Tetap
Jika ditarik dalam konteks teologis yang lebih luas, bacaan Daniel dan Injil Lukas malam itu meneguhkan salah satu ajaran inti kekristenan: dunia ini bersifat sementara. Bangunan kokoh dapat rubuh, kekuasaan dapat berpindah tangan, teknologi dapat usang, harta dapat hilang. Tidak ada yang benar-benar stabil di dunia ini.
Kekristenan mengajarkan bahwa manusia tidak dipanggil untuk menggantungkan hidup pada hal-hal fana. Setiap kali manusia terlalu melekat pada dunia, ia sebenarnya sedang membangun “patung Nebukadnezar” dalam hidupnya. Patung itu memang memukau pada pandangan pertama, tetapi rapuh pada dasarnya.
Allah sebagai Batu yang Tak Tergerus Waktu
Simbol “batu” dalam Kitab Daniel dan dalam pengajaran Yesus memiliki makna teologis yang kuat. Batu melambangkan ketetapan Allah, dasar kokoh iman, dan kekekalan cinta Tuhan. Dunia bisa runtuh, tetapi batu yang berasal dari Allah kerajaan Allah, sabda-Nya, dan kasih-Nya tidak akan pernah hancur.
Inilah dasar spiritual bagi setiap orang Katolik: menaruh harapan bukan pada apa yang terlihat, tetapi pada apa yang bersumber dari Allah. Iman yang dibangun di atas dasar ini akan tetap kokoh meski dunia berguncang.
Ketika Batu Demi Batu Runtuh dalam Hidup
Refleksi ini tak hanya berbicara tentang bangunan konkret. Dalam kehidupan rohani, “runtuhnya batu demi batu” bisa hadir dalam bentuk kegagalan, kehilangan pekerjaan, perpecahan keluarga, kesedihan akibat kematian, atau kekecewaan mendalam. Kejadian-kejadian ini mengingatkan manusia bahwa dunia tidak bisa menjadi sandaran utama.
Di saat seperti itu, Tuhan mengajak umat untuk kembali kepada sumber harapan yang sejati. Hati yang melekat pada Tuhan tidak akan roboh, sebab Tuhan menjadi sandaran paling kokoh.
Dalam Cahaya Injil: Menghidupi Iman di Era Modern
Pastor Vitalis menyinggung realitas hidup modern yang begitu cepat berubah. Manusia masa kini tidak lagi menyembah patung emas atau perak, tetapi banyak yang menaruh “iman” pada hal-hal duniawi: pekerjaan yang mapan, prestasi akademis, teknologi canggih, status sosial, popularitas digital, hingga kenyamanan hidup.
Namun sebagaimana patung Nebukadnezar runtuh, semua hal duniawi itu juga bisa hilang dalam semalam. Upah bisa berubah, jabatan dapat digantikan orang lain, teknologi cepat usang, dan popularitas di media sosial bisa turun hanya dalam hitungan jam. Semua ini adalah tanda-tanda “ketidakabadian” dunia.
Yesus mengajak umat untuk membangun hidup rohani yang berakar pada sabda-Nya. Dalam keluarga, ini berarti menempatkan doa sebagai dasar. Dalam pekerjaan, ini berarti bersikap jujur dan melayani. Dalam masyarakat, ini berarti menjadi pembawa damai. Sementara dalam lingkungan gerejawi, ini berarti terlibat aktif dalam pelayanan.
Sukacita Syukur Keluarga Melanius Momang, S.IP.
Syukur keluarga Bapak Melanius Momang menjadi benang merah dalam misa malam itu. Ada pemahaman mendalam bahwa apa yang diperoleh selama ini merupakan anugerah Tuhan. Syukur membuat seseorang nggak hanya melihat apa yang dimilikinya, tetapi juga menyadari tangan Tuhan yang bekerja dalam setiap langkah hidup.
Ucapan syukur itu diwujudkan dalam kerendahan hati membuka pintu rumah untuk umat. Bagi keluarga Momang, misa ini bukan sekadar tradisi, tetapi doa nyata agar Tuhan terus menyertai perjalanan hidup keluarga mereka. Kehadiran pastor dan umat menjadi berkat yang menguatkan.
Pastor Vitalis menegaskan bahwa iman bertumbuh dari sikap syukur. Ketika seseorang mampu mengucap syukur, ia sedang memperluas ruang di hatinya agar Tuhan berdiam lebih dalam. Syukur juga mendorong seseorang untuk berbagi dengan sesama dan membangun kehidupan yang penuh kasih.
Doa pastor agar Bapak Momang segera dipertemukan dengan jodoh yang baik menjadi ungkapan harapan yang membawa senyum di antara para hadirin. Hal ini menunjukkan bahwa iman tidak selalu harus kaku atau tegang; iman juga bisa hadir melalui tawa, keakraban, dan doa yang sederhana namun tulus.
Penutup: Keteguhan Hati dalam Tuhan yang Kekal
Misa syukur di kediaman Bapak Melanius Momang, S.IP., bukan hanya momen liturgi biasa. Acara tersebut menjadi panggilan bagi umat untuk kembali mengingat apa yang sejatinya tidak akan pernah runtuh: kasih Allah yang kekal. Dunia boleh berubah, bangunan boleh runtuh, teknologi boleh berganti, tetapi Tuhan tetap sama kemarin, hari ini, dan selamanya.
Dalam kesederhanaan rumah umat, perayaan Ekaristi itu memperlihatkan wajah Gereja yang sejati komunitas yang berkumpul untuk memuliakan Tuhan, merayakan syukur, menguatkan iman, dan saling meneguhkan dalam pengharapan.
Ketika umat pulang malam itu, lilin-lilin sudah padam, kursi mulai dikembalikan, dan rumah kembali dalam kesunyian. Namun pesan iman tetap menyala. Misa syukur di Lingkungan St. Lusia malam itu telah menanamkan kembali dasar yang kokoh bagi setiap hati: bahwa hidup yang dibangun bersama Tuhan tidak akan pernah runtuh meski zaman berubah.
Dan seperti batu yang berasal dari Allah dalam Kitab Daniel, iman umat yang melekat pada Tuhan akan tetap berdiri teguh, menantang arus dunia yang berubah, menjadi saksi bahwa kasih Allah tidak pernah runtuh bahkan ketika batu demi batu dunia ini berjatuhan.
📍Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
🕊️ Gembala Umat, Pelita Iman, Sahabat Jiwa
Ditulis oleh: Tim Redaksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
Tanggal: 26 November 2025
0 comments:
Posting Komentar