Berita Gereja | Ketapang, 21 Mei 2025
Palium: Lambang Persatuan dan Kewibawaan Apostolik dalam Tradisi Gereja Katolik
Ketapang Pada hari Rabu, 21 Mei 2025, umat Katolik di seluruh dunia kembali merenungkan makna spiritual dan historis dari Palium, salah satu vestimentum paling sakral dan penuh simbol dalam liturgi Gereja Katolik Roma. Palium bukan hanya bagian dari busana liturgis, melainkan juga menjadi lambang otoritas, kesatuan dengan Takhta Suci, serta panggilan pastoral sebagai gembala umat beriman.
Palium (Latin: pallium atau palla) berarti secara harfiah “mantel wol.” Dalam perkembangannya, palium menjadi selempang putih selebar tiga jari, ditenun dari wol anak domba yang dipersembahkan secara khusus di altar oleh para biarawati biara Santa Agnes. Wol ini melambangkan Kristus Sang Anak Domba Allah dan tugas gembala yang memanggul domba-dombanya, sebagaimana digambarkan dalam seni Kristen awal.
Saat ini, hanya Sri Paus dan uskup metropolit yang berhak mengenakan palium. Seorang uskup metropolit pun tidak boleh melaksanakan tugas-tugas gerejawi di wilayahnya sebelum menerima palium secara resmi dari Paus, bahkan jika ia telah sebelumnya menjabat sebagai metropolit di provinsi gerejawi lain. Hal ini menegaskan kembali ikatan persatuan yang tak terpisahkan dengan Takhta Apostolik Roma.
Paus Leo XIV: Pelayan Gereja yang Menyatu dengan Semangat Gembala
Perenungan tentang palium pada tahun ini terasa lebih bermakna karena untuk pertama kalinya dalam perayaan ini, Paus Leo XIV telah menjabat sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik. Paus Leo XIV[a] (lahir 14 September 1955 dengan nama Robert Francis Prevost) adalah Paus Gereja Katolik ke-267 dan pemegang kedaulatan Negara Kota Vatikan sejak 8 Mei 2025 setelah terpilih melalui Konklaf Kepausan 2025 untuk menjadi penerus Paus Fransiskus.
Prevost lahir di Chicago, Illinois, dan tumbuh besar di area pinggiran kota. Ia menjadi frater Ordo Santo Agustinus (O.S.A) pada tahun 1977 dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1982. Pelayanan pastoralnya meliputi kerja misionaris luas di Peru selama dekade 1980-an dan 1990-an, di mana ia melayani sebagai imam paroki, pejabat keuskupan, guru seminari, dan administrator. Ia terpilih menjadi prior jenderal Ordo Santo Agustinus dari 2001 sampai 2013, kemudian diangkat menjadi Uskup Chicalyo pada tahun 2015 hingga 2023.
Tahun 2023, Paus Fransiskus mengangkatnya menjadi Prefek Dikasteri untuk Para Uskup dan Presiden Komisi Kepausan untuk Amerika Latin, serta mengangkatnya menjadi kardinal. Sebagai kardinal, ia dikenal menekankan sinodalitas, dialog misioner, serta keterlibatan aktif dalam isu-isu kontemporer seperti perubahan iklim, migrasi global, tata kelola Gereja, dan hak asasi manusia. Ia secara konsisten menyuarakan keselarasan dengan semangat reformasi Konsili Vatikan II.
Sebagai warga negara Amerika Serikat sejak lahir, Paus Leo XIV adalah Paus pertama yang lahir di Amerika Utara, Paus pertama yang memegang kewarganegaraan Peru (dinaturalisasi tahun 2015), Paus kedua dari Benua Amerika setelah Paus Fransiskus, dan Paus pertama dari Ordo Santo Agustinus. Nama kepausannya, Leo, terinspirasi oleh Paus Leo XIII, yang dikenal karena mengembangkan ajaran sosial Katolik modern pada masa Revolusi Industri Kedua. Paus Leo XIV percaya bahwa Revolusi Industri Keempat, khususnya perkembangan kecerdasan buatan dan robotika, menghadirkan tantangan baru bagi martabat manusia, keadilan sosial, dan hak-hak pekerja.
Sejarah
Menurut dokumen kuno “Liber Pontificalis,” palium pertama kali muncul pada abad ke-4, dalam masa kepausan Santo Markus (†336), yang memberikan hak mengenakan palium kepada Uskup Ostia. Sejak abad ke-6, penggunaannya mulai menjadi lebih umum sebagai simbol pengakuan dari Paus dan tanda pengakuan terhadap yurisdiksi metropolit.
Namun, pada Abad Pertengahan, penganugerahan palium sempat memicu kontroversi, karena dikenai tarif tinggi oleh pihak kepausan. Kebijakan ini sempat mendatangkan dana besar namun juga kritik keras, bahkan disebut sebagai “perbuatan paling riba” oleh Konsili Basel (1432), dan dituduh sebagai bentuk simoni. Tarif itu akhirnya dihapuskan demi memurnikan makna rohani dari palium itu sendiri.
Makna Simbolik dan Liturgis
Palium dikenakan di atas kasula, dengan dua ujungnya menjuntai di depan dan belakang, membentuk huruf Y bila dilihat dari depan atau belakang. Terdapat enam salib hitam di seluruh bagian palium, yang menandakan pengorbanan Kristus dan tugas berat seorang gembala. Palium juga disematkan dengan tiga peniti emas sebuah warisan dari bentuk palium awal yang menyerupai syal disematkan di pundak.
Palium tidak digunakan secara bebas. Menurut aturan liturgis, palium hanya dikenakan saat perayaan Misa di dalam gereja, kecuali ada pengecualian khusus. Peraturan ini menekankan aspek kesakralan palium, yang mengikat pemakainya dalam semangat pelayanan, kesetiaan, dan kerendahan hati di hadapan Tuhan dan Gereja.
Perkembangan dan Relevansi
Palium yang digunakan Paus saat ini sedikit berbeda dari yang dikenakan oleh uskup metropolit. Misalnya, Paus Benediktus XVI sempat menghidupkan kembali bentuk palium yang lebih lebar, menyerupai omoforion dari tradisi Timur, dihiasi lima salib merah melambangkan lima luka Kristus. Sementara para uskup metropolit mengenakan model standar seperti yang berlaku saat ini.
Makna palium terus berevolusi, tetapi esensinya tetap sama: sebuah tanda persatuan dan kesetiaan kepada Kristus dan Gereja-Nya. Palium adalah manifestasi dari plenitudo pontificalis officiikegenapan tugas kegembalaan dan pelayanan apostolik. Ini bukan hanya lambang jabatan, tetapi sebuah panggilan suci untuk menggembalakan umat Allah dalam semangat Kristus Sang Gembala Baik.
Sebagai umat Katolik di Keuskupan Ketapang dan seluruh dunia, momen ini mengajak kita untuk terus mendukung para pemimpin Gereja kita dalam doa, agar mereka senantiasa menjadi gembala yang setia, rendah hati, dan bersatu dengan Kristus serta Gereja Universal.
Penulis:Tim Komsos Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
Tanggal: 21 Mei 2025
0 comments:
Posting Komentar