Sebaris kalimat ini membuka pintu renungan yang dalam bagi siapa saja yang mencintai Tuhan, bukan hanya dari kenyamanan, tetapi dari kerapuhan dan keterpurukan. Pesan ini bukan sekadar ungkapan religius biasa. Ia merupakan seruan halus namun kuat untuk menyelami iman sejati yang bertumbuh di tanah penderitaan bukan sekadar dalam taman kemewahan.
Ignasius Rinso Tigor mengajak umat untuk merenungkan bahwa iman yang matang tidak muncul begitu saja dari keberhasilan duniawi, melainkan dari keberanian menghadapi badai hidup, dari jatuh-bangun yang melatih hati untuk tetap terpaut kepada Allah.
Sebagaimana diteladankan oleh Santo Stefanus, martir pertama Gereja, yang dalam derita dilempari batu tetap berseru mengampuni para algojonya, iman yang sejati justru makin menyala dalam tekanan dan luka.
Tigor seolah mengingatkan bahwa terlalu banyak berbicara tentang kasih dan kebaikan Tuhan tanpa pernah benar-benar bergumul, tanpa pernah tahu apa arti terpuruk, apa arti berada di "zona terendah" dalam hidup hanyalah seperti menjaring angin. Kita akan kehilangan makna sejati dari kata "kasih" itu sendiri.
Dalam dunia yang kerap menyukai narasi kemenangan, pesan ini menjadi kontra narasi yang menyejukkan: bahwa kegagalan, penderitaan, dan bahkan kehancuran hidup bukanlah akhir, melainkan awal untuk mengenal Tuhan secara lebih utuh dan personal.
Pagi ini, pesan singkat dari seorang Prodiakon di sudut Kalimantan Barat itu telah menyentuh banyak hati. Bukan karena panjangnya, tetapi karena ketulusan dan kedalaman spiritualitas yang terpantul darinya.
Semoga setiap dari kita berani membuka diri untuk mengenal Tuhan bukan hanya dalam keberhasilan, tetapi juga dalam air mata, luka, dan sunyi yang melingkupi hidup. Di sanalah iman tumbuh. Di sanalah kasih menjadi nyata.
.
Ditulis oleh: Tim Redaksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
Tanggal: 17 Juni 2025
0 comments:
Posting Komentar