Renungan Subuh yang Menyapa Jiwa: Merenungkan Kasih Tuhan Lewat Jatuh dan Bangkit


Foto Bapak. Ignasius Rinso Tigor, S.S

Renungan Subuh yang Menyapa Jiwa: Merenungkan Kasih Tuhan Lewat Jatuh dan Bangkit

Ketapang, 17 Juni 2025 .Dalam sunyi subuh yang hening, saat kebanyakan orang masih terlelap dalam tidur, sebuah pesan rohani sederhana hadir menyapa jiwa. Tepat pukul 03.02 WIB, Bapak Ignasius Rinso Tigor, S.S., seorang Prodiakon yang setia melayani di Paroki Santo Agustinus Paya Kumang, Keuskupan Ketapang, membagikan sebuah status WhatsApp yang tampak singkat, namun menyimpan kedalaman spiritual yang menggugah hati.

"Terlalu banyak berbicara tentang kasih dan kebaikan Tuhan sementara kita tidak pernah bergumul, apa arti terpuruk, apa arti di zona terendah, maka hanya seperti menjaring angin; lihat St. Petrus dan St. Paulus."

Status WhatsApp Bapak. Ignasius Rinso Tigor,S.S

Pesan ini bukan sekadar refleksi pribadi. Ia adalah panggilan untuk berhenti sejenak dari rutinitas rohani yang kadang menjadi kebiasaan kosong, dan mulai menyelami kembali makna pengalaman iman yang otentik  pengalaman yang tidak hanya berbicara tentang kasih, tetapi juga mengalami kasih itu dalam keterpurukan, pergumulan, dan pertobatan.

Antara Kata dan Realita: Iman yang Tidak Menjaring Angin

Di tengah dunia yang penuh slogan tentang “kasih Tuhan” dan “rahmat Allah,” renungan ini hadir seperti tamparan lembut. Banyak umat  bahkan pelayan Gereja sekalipun terbiasa memuji kasih Tuhan dari mimbar, media sosial, atau perbincangan komunitas. Tetapi apakah semua pujian itu lahir dari hati yang pernah jatuh, terluka, dan bangkit kembali bersama Yesus?

Ignasius Rinso Tigor seolah mengingatkan bahwa berbicara tentang kasih Tuhan tanpa mengalami kerapuhan manusiawi adalah seperti menjaring angin  sebuah usaha yang tampak sibuk, namun kosong dari hasil.

Melihat Ke Dalam: Zona Terendah sebagai Ruang Pertemuan

Frasa "apa arti di zona terendah" mengajak kita merenungkan bahwa justru di saat kita berada di titik paling gelap  kegagalan, kesedihan, dosa, keputusasaan  di situlah kasih Tuhan paling nyata. Kasih itu tidak hanya hadir saat kita sukses, sehat, atau bahagia. Kasih itu hadir paling kuat ketika kita gagal, jatuh, dan merasa sendiri.

Yesus sendiri, dalam perjalanan-Nya menuju salib, menghidupi kasih dengan melewati zona terendah manusia: pengkhianatan, penolakan, penderitaan, dan kematian. Maka kita sebagai pengikut-Nya tidak dipanggil untuk sekadar "berkata-kata" tentang kasih, tetapi untuk menghidupi kasih itu  dan itu berarti siap untuk bergumul dan terluka.

Petrus dan Paulus: Dua Sosok, Dua Pergumulan, Satu Kasih

Ignasius menutup pesannya dengan kalimat pendek namun sangat kuat: “lihat St. Petrus dan St. Paulus.” Dua rasul agung ini adalah contoh nyata dari kasih Tuhan yang mengangkat dari keterpurukan.

  • Petrus, sang batu karang Gereja, adalah juga seorang penyangkal Yesus tiga kali. Ia menangis pahit karena pengkhianatannya. Tetapi justru dari titik itu, kasih Tuhan menjangkau dan memulihkannya.

  • Paulus, sebelumnya dikenal sebagai Saulus, adalah penganiaya umat Kristen. Tapi perjumpaannya dengan Yesus di jalan ke Damsyik mengubah hidupnya, dan ia menjadi rasul bagi bangsa-bangsa.

Keduanya tidak langsung besar dalam pelayanan. Mereka jatuh, gagal, dan dibentuk. Dan justru dalam pergumulan itu, mereka mengalami kasih Tuhan yang membakar hati dan mengubah hidup.

Kasih yang Dihidupi, Bukan Sekadar Dikatakan

Pesan ini relevan sekali di zaman sekarang. Kita hidup di era digital, di mana orang dengan mudah menuliskan ayat-ayat indah di media sosial, berbicara tentang kebaikan Allah di banyak platform. Namun kehidupan sehari-hari kita tidak selalu mencerminkan hal itu.

Apakah kita pernah menangis dalam doa, bukan karena permohonan kita belum dikabulkan, tetapi karena kita sadar betapa besar kasih Tuhan dalam masa-masa tergelap hidup kita? Apakah kita pernah hancur karena dosa kita sendiri, dan justru di sana menemukan pengampunan yang tak bersyarat?

Ignasius Rinso Tigor mengajak umat untuk menyelami kembali iman secara lebih otentik. Bukan sekadar bicara tentang Tuhan, tetapi berjalan bersama Tuhan di tengah jatuh dan luka. Itulah iman yang tidak menjaring angin.

Menjadi Gereja yang Punya Luka dan Bertumbuh

Gereja bukan tempat orang suci yang sempurna. Gereja adalah tempat orang-orang berdosa yang dipanggil untuk disembuhkan dan disucikan bersama. Maka, kita diajak untuk lebih jujur dalam beriman: tidak malu dengan kegagalan, tidak takut untuk bercerita tentang luka, karena di sanalah Tuhan sedang bekerja.

Mari belajar dari Petrus dan Paulus, dan mari menyambut pesan Ignasius Tigor sebagai undangan untuk hidup dalam kasih sejati: kasih yang dirasakan, dijalani, dan dihayati  bahkan dari dasar kejatuhan kita.

Penutup: Doa Dalam Keterpurukan

Tuhan,
Kadang kami terlalu mudah berkata tentang kasih-Mu.
Tetapi kami takut terluka, takut jatuh, dan takut gagal.
Kami ingin hidup rohani yang bersih dan sempurna,
Namun lupa bahwa kasih-Mu hadir paling nyata
Ketika kami hancur dan Engkau menyembuhkan.
Ajari kami, seperti Petrus dan Paulus,
Untuk bangkit dari kejatuhan dan kembali kepada-Mu.
Amin.

📍Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
🕊️ Gembala Umat, Pelita Iman, Sahabat Jiwa

Ditulis oleh: Tim Redaksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Santo Agustinus Paya Kumang

Tanggal:  17 Juni 2025

About Gr.SAPRIYUN,S.ST.Pi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 comments:

Posting Komentar