Foto Bapa Mgr. Agustinus Tri Budi Utomo menyampaikan sambutan.
Ketapang, 24 Januari 2025 – Dalam sambutan menjelang penutup Misa di Widya Mandala Hall, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Jawa Timur,yang di Gelar pada Hari Rabu (22/1/2025) Mgr. Didik, sapaan akrabnya, mengenang perjalanan imamatnya yang penuh liku. Dalam kesempatan tersebut, ia menyebut Mgr. Pius Riana Prapdi, Uskup Keuskupan Ketapang, sebagai wakil dari Santo Yohanes Pembaptis.
“Sesudah lima tahun menjadi imam muda yang terlalu terlena dengan fasilitas, kesombongan rohani, dan kesombongan ego, akhirnya Tuhan memperkenankan saya untuk dibaptis ulang dengan air di Sungai Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat. Selama lima tahun saya dibaharui kembali untuk semakin mencintai imamat dan umat. Dan terutama selama lima tahun saya sungguh mendapatkan ilmu yang saya berani mengatakan tingkatnya doktoral,” ungkapnya.
Menurut Mgr. Didik, selama menjalani proses pembaharuan di Ketapang, ia diajari untuk selalu tersenyum dalam berbagai situasi.
“Bahkan dengan pohon atau ular yang lewat. Bahkan ketika saya dilatih oleh Tuhan – saya tersesat semalaman di tengah hutan, di sanalah saya harus tersenyum dengan ketakutan. Ketakutan pun layak untuk disenyumi, yang akhirnya sampai kepada Tuhan yang tersenyum kepada saya. Ternyata Dia lebih dahulu tersenyum,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Mgr. Didik menyampaikan bahwa ia merasa telah dipersiapkan oleh pendahulunya, Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, sebelum akhirnya ditahbiskan sebagai uskup. Ia melihat adanya skenario indah dalam perjalanan panggilannya.
“Saya bayangkan di balik skenario ini semua adalah Mgr. Sutikno. Saya merasa dipersiapkan. Ketika saya masuk seminari sebenarnya bukan karena kehendak pribadi. Kalau seandainya yang mewawancarai calon seminaris bukan Romo Sutikno, mungkin saya tidak diterima,” kenangnya.
Mgr. Didik juga berbagi kisah bagaimana ia masuk seminari atas ajakan seorang teman yang sama-sama tersesat saat naik gunung.
“Teman saya yang mengajak untuk membayar hutang hidup dengan menjadi imam. Padahal saya tidak pernah menginjakkan kaki di gereja selama tiga tahun. Tetapi ketika tes masuk seminari, saya cari teman saya tidak ada. Dia membatalkan masuk seminari karena keluarganya meminta dia menjadi guru. Teman saya itu adalah Antonius Kasmanto, almarhum yang pernah menjadi Kepala Sekolah SMK St. Louis Surabaya,” ungkapnya.
Dalam kenangannya, Mgr. Didik juga menceritakan bagaimana Mgr. Sutikno yang baru kembali dari Manila, Filipina, membawakannya oleh-oleh berupa kamus teologi.
“Banyak peristiwa di mana Mgr. Sutikno memang mempersiapkan saya. Sejak beliau jadi uskup, saya yang diminta membuat lambangnya. Dan saya buat sesudah beliau cerita panjang lebar tentang visi pastoralnya. Lalu saya coba menggambar dan desainernya adalah keponakannya,” ujarnya.
Mgr. Didik juga menuturkan pengalamannya saat pertama kali dipercayakan tugas sebagai Vikjen Keuskupan Surabaya sejak tahun 2009.
“Saya pikir sejak itulah saya terus dipercaya. Pada suatu titik, saya ditemui dan diminta: ‘Dik, kamu jadi Vikjen.’ Saya tidak punya pengalaman apa-apa. Akhirnya yang pertama saya menolak dengan sukses. Tapi tahun depannya lain lagi ceritanya. ‘Dik, ini bukan tawaran, dan kamu hanya bisa taat.’ Ya terserah saya bilang, kalau percaya. Tapi beresiko kalau memilih saya jadi Vikjen karena, pertama, nama saya sudah pernah buruk, nomor dua, saya ini pelupa, nomor tiga, saya ini sulit untuk diatur. Tapi saya pikir itulah cara kemurahan hati Tuhan kepada saya dalam panggilan hidup saya,” tuturnya.
Sambutan Mgr. Didik yang penuh refleksi dan syukur tersebut diakhiri dengan ajakan kepada umat untuk terus berserah kepada Tuhan dalam setiap perjalanan hidup.
0 comments:
Posting Komentar