Foto RP. Vitalis Nggeal, CP
“Indah Pada Waktunya: Ibadat Persiapan Pernikahan Evangelia Tuko dan Redy Septyanto di Paroki Santo Agustinus Paya Kumang”
Ketapang, 24 Oktober 2025 .Dalam keheningan malam yang diberkati, di bawah langit Ketapang yang teduh dan damai, umat Katolik Paroki Santo Agustinus Paya Kumang berkumpul di rumah keluarga Bapak Jeno Leo dan Ibu Sutarti Rahayu di Jalan Gatot Subroto, BTN Sukaharja Indah 2 Nomor 14A. Hari Jumat, 24 Oktober 2025, pukul 18.00 WIB menjadi saksi sebuah momen rohani yang sarat makna: Ibadat persiapan pernikahan atau midodareni bagi pasangan terkasih, Evangelia Tuko, S.Pd., M.Pd., dan Redy Septyanto, S.Kom.
Ibadat yang dipimpin oleh RP. Vitalis Nggeal, CP., ini menjadi bagian penting dari perjalanan iman menuju pernikahan kudus yang akan diberkati pada keesokan harinya, Sabtu, 25 Oktober 2025, di Gereja Katolik Santo Agustinus Paya Kumang, Keuskupan Ketapang. Suasana yang hangat dan penuh kedamaian terasa sejak umat mulai berdatangan. Cahaya lilin yang berpendar lembut, aroma dupa yang naik ke langit seperti doa, serta lantunan lagu-lagu rohani sederhana, menandai malam midodareni yang penuh kekhusyukan itu.
Tuhan Membuat Segala Sesuatu Indah Pada Waktunya
Di dinding ruang tengah rumah keluarga Jeno Leo, tergantung sebuah tulisan sederhana:
“Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya, indah saat Ia mempertemukan, indah saat Ia menumbuhkan kasih, dan indah saat Ia menyatukan kami dalam ikatan pernikahan kudus.”
Tulisan itu mencerminkan perjalanan panjang kasih Evangelia dan Redy. Keduanya dipersatukan dalam cara yang begitu lembut, tidak tergesa, dan dipenuhi penyertaan Tuhan. Evangelia putri pertama dari pasangan Bapak Jeno Leo dan Ibu Sutarti Rahayu, yang juga dikenal sebagai Ketua Lingkungan Santa Lusia adalah sosok yang dikenal rendah hati dan beriman teguh. Sedangkan Redy, putra pertama dari almarhum Bapak Harno Mugi Rahardjo dan Ibu Yaningsih, dikenal sebagai pribadi yang sabar, tekun, dan penuh kasih.
Pernikahan mereka bukan hanya penyatuan dua pribadi, tetapi juga dua keluarga, dua latar belakang, dan dua jalan hidup yang kini menjadi satu dalam kasih Allah. Dalam tradisi Katolik, pernikahan bukan sekadar ikatan lahiriah, melainkan sakramen cinta yang kudus dan tak terceraikan. Karena itu, malam midodareni ini dihadirkan bukan hanya untuk memohon restu, melainkan juga untuk menyiapkan hati agar esok mereka melangkah dengan kesadaran penuh akan makna suci dari janji yang akan mereka ucapkan di hadapan altar Tuhan.
Makna Ibadat Midodareni dalam Terang Iman Katolik
Dalam budaya Jawa, midodareni berarti malam menjelang pernikahan, saat keluarga berkumpul untuk berdoa dan memohon berkat. Secara tradisional, malam itu dipercaya sebagai malam turunnya para “bidadari” yang membawa keindahan batin bagi calon pengantin perempuan. Namun, dalam terang iman Katolik, midodareni bukanlah sekadar ritual budaya, melainkan kesempatan untuk menyucikan niat, menyelaraskan kasih dengan kehendak Allah, dan menyerahkan perjalanan hidup rumah tangga kepada penyelenggaraan ilahi.
RP. Vitalis Nggeal, CP., dalam pengantarnya, mengajak umat untuk merenungkan arti sejati dari pernikahan sebagai rencana Allah yang agung bagi manusia. “Perkawinan adalah sesuatu yang prinsip,” tutur beliau dengan nada lembut namun tegas. “Semua orang mempunyai hak untuk menikah, karena di dalamnya terkandung panggilan untuk mengasihi dan menjadi tanda kasih Allah sendiri.”
Ia kemudian menjelaskan sepuluh halangan atau hambatan untuk menikah menurut Kitab Hukum Kanonik, sebagai bentuk pengajaran agar umat memahami kesucian dan ketertiban hukum Gereja dalam sakramen pernikahan.Antara lain, halangan-halangan yang dimaksud meliputi halangan usia, perbedaan agama, tahbisan suci, kaul kekal kemurnian, penculikan, keterlibatan dalam pembunuhan pasangan sebelumnya, hubungan darah, hubungan kesemendaan, kelayakan publik, serta halangan-halangan lain yang diatur oleh Gereja.
RP. Vitalis menegaskan bahwa hal-hal ini bukanlah sekadar aturan administratif, tetapi cerminan dari tanggung jawab moral umat beriman dalam memelihara martabat sakramen perkawinan.
Beliau juga menekankan bahwa pernikahan yang sah dalam Gereja Katolik harus dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, di hadapan imam dan dua saksi, serta dijalani dengan niat tulus untuk sehidup semati. “Perkawinan Katolik bukan kontrak sosial, melainkan perjanjian suci,” ujarnya. “Ia mengikat dua jiwa dalam kasih Allah yang kekal.”
Kesederhanaan yang Menyentuh
Malam itu, ibadat berlangsung dalam suasana sederhana namun penuh makna. Keluarga, sahabat, dan umat lingkungan Santa Lusia hadir dengan wajah-wajah yang teduh. Beberapa membawa bunga, sebagian menyalakan lilin, dan anak-anak kecil duduk diam mendengarkan doa yang mengalun.
Evangelia duduk di samping ibunya, mengenakan kebaya berwarna lembut. Sementara Redy duduk di sisi lain ruangan, mengenakan batik sederhana. Sesekali, mata mereka bertemu bukan dalam tatapan duniawi, tetapi dalam tatapan yang penuh rasa syukur. Di wajah keduanya, tampak damai.
Ibu Sutarti Rahayu, yang juga dikenal sebagai sosok aktif dalam kegiatan lingkungan, tampak haru sepanjang ibadat. Sesekali ia menundukkan kepala, mungkin mengenang perjalanan panjang membesarkan putrinya hingga tiba pada malam sakral ini. Sedangkan Bapak Jeno Leo, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pastoral Paroki Santo Agustinus Paya Kumang, tampak tegar namun jelas menahan haru.
Mereka tahu, esok bukan sekadar hari pernikahan anak mereka, tetapi hari di mana kasih keluarga dipersembahkan kembali kepada Tuhan, Sang Sumber Kasih.
Homili RP. Vitalis Nggeal, CP.: Pernikahan Adalah Jalan Kasih
Dalam homilinya, RP. Vitalis berbicara tentang hakikat cinta yang sejati. “Menjalankan nilai-nilai perkawinan itu tidak mudah,” katanya. “Ia harus dibangun dalam suasana yang harmonis, dalam kasih yang jujur, dan dalam komitmen yang kokoh kepada Tuhan.”
Beliau mengajak umat untuk mendoakan kedua mempelai agar dapat hidup dalam damai, saling menghargai, dan menjadi saksi kasih di tengah masyarakat. “Pernikahan itu bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari sebuah panggilan. Panggilan untuk mencintai tanpa syarat, untuk mengampuni tanpa batas, dan untuk melayani satu sama lain dalam Kristus.”
RP. Vitalis juga menyinggung tentang pentingnya memohon restu dari leluhur dan dari Tuhan. Dalam tradisi iman Katolik, penghormatan kepada leluhur bukan bentuk penyembahan, tetapi ungkapan rasa syukur kepada mereka yang telah menjadi bagian dari sejarah kasih Allah dalam keluarga.
“Dalam malam midodareni ini,” lanjut beliau, “kita datang secara khusus untuk mendoakan Eva dan Redy. Kita hadir bukan hanya sebagai tamu, tetapi sebagai saudara seiman yang menopang mereka dalam doa. Intensi ibadat kita malam ini adalah agar mereka menikmati janji pernikahan dalam suasana damai, agar mereka membangun rumah tangga yang menjadi berkat bagi banyak orang.”
Doa, Lagu, dan Harapan
Usai homili, umat diajak berdoa bersama. Doa-doa spontan dilantunkan, mengalir seperti aliran kasih yang tulus. Ada doa bagi orang tua, bagi mereka yang telah berpulang, bagi keluarga besar, dan bagi kedua mempelai yang akan menempuh hidup baru.
Lagu “Kasih Allah Telah Memanggil Kita” dinyanyikan dengan lembut. Setiap baitnya terasa menyentuh hati:
“Kasih Allah telah memanggil kita,
untuk hidup dalam cinta yang sejati.
adikanlah rumah tangga kami, ya Tuhan,
tanda kasih-Mu di dunia ini.”
Evangelia meneteskan air mata. Redy menundukkan kepala. Dalam kesunyian itu, mereka menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Tidak ada kemewahan, tidak ada pesta megah hanya doa, kasih, dan pengharapan yang sederhana namun penuh kekuatan.
Persiapan Sakramen dan Pemberkatan
Setelah ibadat berakhir, RP. Vitalis berbincang sejenak dengan kedua calon mempelai. Ia memastikan bahwa semua persiapan rohani dan administrasi sakramen telah lengkap. Dokumen baptis, surat pengantar dari paroki asal, serta bukti kursus persiapan perkawinan telah diperiksa.
“Pemberkatan besok akan menjadi momen yang tak terlupakan,” ujar beliau. “Ingatlah, bukan imam yang menikahkan kalian, tetapi kalian sendiri yang saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Imam hanya menjadi saksi Gereja.”
Kata-kata itu menegaskan betapa besar tanggung jawab yang melekat dalam janji pernikahan Katolik. Sebuah janji yang tak bisa ditarik kembali, karena diucapkan bukan di hadapan manusia semata, melainkan di hadapan Allah yang hidup.
Keesokan Hari: Pemberkatan dan Resepsi
Sabtu, 25 Oktober 2025. Suasana pagi di Gereja Katolik Santo Agustinus Paya Kumang terasa istimewa. Gereja berhias bunga putih dan lilin-lilin besar. Musik lembut mengiringi langkah Evangelia yang berjalan menuju altar, di dampingi ayahnya. Redy berdiri di depan altar, menunggu dengan wajah penuh haru.
Ibadat pemberkatan dimulai pukul 14.00 WIB, dihadiri oleh keluarga besar, sahabat, dan umat paroki. Dalam liturgi yang indah itu, mereka mengucapkan janji setia seumur hidup. Saat keduanya saling mengucap, “Aku berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit, dan aku mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidupku,” suasana hening menyelimuti gereja.
Setelah misa, umat memberi selamat dengan senyum hangat. Beberapa menyalami, beberapa menitikkan air mata haru. Kemudian, sore harinya, resepsi sederhana namun penuh sukacita digelar di RM Seafood 26, Jalan R. Suprapto Ketapang, dari pukul 16.30 hingga 20.00 WIB. Musik lembut, hidangan hangat, dan canda tawa memenuhi ruangan.
Namun bagi Evangelia dan Redy, kebahagiaan sejati tidak terletak pada pesta, melainkan pada kesadaran bahwa mereka kini telah menjadi satu dalam kasih Allah.
Makna Spiritual dan Pesan Bagi Umat
Ibadat persiapan pernikahan atau midodareni ini mengingatkan bahwa setiap sakramen dalam Gereja adalah anugerah sekaligus tanggung jawab. Dalam dunia yang semakin individualistis, pernikahan Katolik menjadi tanda profetis bahwa kasih sejati itu setia, tak bersyarat, dan berakar dalam iman.
Evangelia dan Redy menunjukkan bahwa keindahan cinta tidak hanya dinilai dari kemewahan perayaan, tetapi dari ketulusan hati yang menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Mereka adalah saksi bahwa kasih yang diletakkan di atas dasar iman akan bertahan dalam badai kehidupan.
Keluarga besar mereka pun menjadi teladan bagi umat paroki: keluarga yang hidup dalam iman, pelayanan, dan kesederhanaan. Bapak Jeno Leo, dengan tanggung jawabnya sebagai Ketua DPP Paroki Santo Agustinus Paya Kumang, menunjukkan bahwa kepemimpinan rohani dimulai dari keluarga sendiri. Sementara Ibu Sutarti Rahayu, melalui pengabdiannya di Lingkungan Santa Lusia, menunjukkan bahwa kasih ibu adalah gambaran kasih Gereja bagi anak-anaknya.
Penutup: Damai dan Sukacita dalam Kristus
Malam midodareni yang sederhana itu kini tinggal kenangan, namun maknanya akan selalu hidup. Seperti doa yang diucapkan RP. Vitalis di akhir ibadat:
“Ya Tuhan, berkati Evangelia dan Redy, agar mereka membangun rumah tangga yang menjadi tanda kehadiran-Mu. Jadikan kasih mereka subur dalam pengampunan, dalam pelayanan, dan dalam kesetiaan. Semoga mereka tetap bersatu dalam suka dan duka, sampai maut memisahkan mereka, dan kelak bersatu kembali dalam kemuliaan-Mu yang kekal. Amin.”
Dalam doa itu, terang kasih Kristus berpijar. Evangelia dan Redy melangkah ke hari esok dengan hati penuh syukur. Iman mereka menjadi dasar, cinta menjadi mahkota, dan Tuhan menjadi pusat segalanya.
Di Paroki Santo Agustinus Paya Kumang, malam 24 Oktober 2025 akan selalu dikenang sebagai malam penuh kasih saat keluarga, sahabat, dan umat berkumpul untuk merayakan karya indah Tuhan yang mempersatukan dua hati dalam ikatan suci.
Segala sesuatu memang indah pada waktunya, dan malam itu, keindahan itu nyata bukan dalam gemerlap dunia, tetapi dalam cahaya kasih Allah yang tak pernah padam.
📍Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
🕊️ Gembala Umat, Pelita Iman, Sahabat Jiwa
Ditulis oleh: Tim Redaksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
Tanggal: 24 Oktober 2025

0 comments:
Posting Komentar