Refleksi Iman: “Sharingku Menjadi Prodiakon Oleh Yohanes Midi


Foto Bapak.Yohanes Midi

Refleksi Iman: “Sharingku Menjadi Prodiakon”
Oleh Yohanes Midi
Ketapang, Jumat, 30 Mei 2025

Menjawab Panggilan Menjadi Prodiakon di Gereja Santo Agustinus Payak Kumang

Ketapang, Jumat, 30 Mei 2025.Satu momen penting dalam hidup Yohanes Midi adalah ketika dirinya dipilih menjadi seorang prodiakon di Paroki Santo Agustinus Payak Kumang, Keuskupan Ketapang. Pada hari penugasan itu, muncul begitu banyak pertanyaan dalam batin dan pikirannya: Apakah aku pantas? Apakah aku layak menerima tugas mulia ini? Pertanyaan itu tidak hadir karena keraguan akan panggilan, tetapi lebih karena kesadaran akan tanggung jawab besar yang dibawa dalam pelayanan seorang prodiakon.

"Bukan sekadar membagikan sakramen," tulis Yohanes dalam refleksinya, "karena menjadi prodiakon berarti membawa tubuh dan darah Yesus Kristus sendiri kepada umat."

Kesadaran tersebut membuat Yohanes memandang pelayanannya sebagai sesuatu yang sangat serius dan sakral. Ia menyadari bahwa pelayanan sebagai prodiakon tidak hanya membutuhkan kesiapan fisik dan waktu, tetapi juga pembaruan diri secara rohani dan moral.

Menata Diri dan Menyandarkan Diri pada Belas Kasih Allah

Dalam perjalanannya sebagai prodiakon, Yohanes mengakui bahwa ia bukanlah pribadi yang sempurna. Kelemahan dan dosa kerap menyertai, namun semua itu tidak menyurutkan niatnya untuk terus belajar dan memperbaiki diri. Ia memilih untuk menata hidupnya dengan lebih baik, berusaha hidup selaras dengan kehendak Allah dan harapan umat.

"Menjadi prodiakon berarti harus berjuang agar bisa melayani dengan pantas," ungkapnya. "Dan itu hanya mungkin bila aku menggantungkan diri pada belas kasih dan pertolongan Allah."

Dalam hal ini, Yohanes menekankan pentingnya sikap rendah hati di hadapan Tuhan, mengosongkan diri agar rahmat Allah memenuhi dan menguatkannya dalam pelayanan.

Belajar Komitmen, Berkorban, dan Membuka Hati

Yohanes juga mencatat bahwa menjadi prodiakon menuntut adanya perubahan sikap dan kebiasaan. Ia belajar untuk lebih menghargai komitmen, menepati janji, dan hadir tepat waktu dalam setiap pelayanan. Menurutnya, hal-hal kecil seperti ini adalah bentuk kesetiaan yang konkret di hadapan Allah dan umat Nya.

Selain itu, ia juga menekankan bahwa seorang prodiakon harus mampu berkorban mengesampingkan keinginan pribadi demi kebutuhan sesama. Yohanes menyadari bahwa pelayanan yang tulus menuntut pengorbanan, dan pengorbanan yang dijalani dengan sukacita akan melahirkan buah yang indah bagi Gereja dan masyarakat.

"Menjadi prodiakon berarti aku harus rela dan memiliki hati yang terbuka," tulisnya penuh ketulusan. "Kerelaan dan hati terbuka mengandaikan sikap kosong di hadapan Allah. Biarlah Allah sendiri yang hadir dan memenuhi hidup kita."

Menjawab Panggilan Allah dengan Keberanian

Yohanes mengakhiri refleksinya dengan menyadari bahwa panggilan menjadi prodiakon adalah bentuk keberanian untuk menanggapi sapaan Allah dalam hidupnya. Ia mengutip sabda Yesus: “Aku ingin kau sempurna seperti Bapa di surga.” Sebuah ajakan yang berat, namun juga penuh pengharapan karena Yesus berjanji: “Aku akan menyertaimu sampai akhir zaman.”

Dengan penuh iman dan harapan, Yohanes menyerahkan seluruh proses pelayanannya kepada Tuhan. Ia percaya bahwa dengan rahmat Allah, segala ketakutan dan kekurangan dapat diatasi.

“Semoga Tuhan Yesus memberkati kita semua. Amin,” tulisnya sebagai penutup.

Catatan Redaksi:
Refleksi dari Yohanes Midi ini bukan hanya menjadi cermin pertumbuhan pribadi dalam menjawab panggilan pelayanan, namun juga menjadi inspirasi bagi kita semua bahwa setiap perutusan dalam Gereja adalah anugerah yang patut dijalani dengan sukacita, kesungguhan, dan kerendahan hati.

Tim Komunikasi Sosial (Komsos)
Penulis : Tim Komsos Paroki Santo Agustinus Paya Kumang – Ketapang

Tanggal: 30 Mei 2025 


About Gr.SAPRIYUN,S.ST.Pi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 comments:

Posting Komentar