Menjadi Pribadi “JOSSS”: Pesan Bapa Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi dalam Misa Penerimaan Sakramen Krisma dan Pelantikan Prodiakon di Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
Ketapang, 22 September 2025.Perayaan iman yang penuh sukacita berlangsung di Gereja Paroki Santo Agustinus Paya Kumang, Keuskupan Ketapang, pada Minggu, 21 September 2025, Pukul 08.00 WIB.yang bertepatan dengan Hari Minggu Biasa XXV. Dalam perayaan ekaristi yang agung dan meriah ini, Gereja setempat menyaksikan dua momentum bersejarah sekaligus: penerimaan Sakramen Krisma oleh 106 krismawan dan krismawati serta pelantikan delapan prodiakon baru.
Misa kudus dipimpin langsung oleh Bapa Uskup Keuskupan Ketapang, Mgr. Pius Riana Prapdi, didampingi oleh para imam konselebran: Pastor Kepala ex officio RP. Vitalis Nggeal, CP., Pastor Vikaris ex officio RP. FX. Oscar Aris Sudarmadi, CP., serta RD. Fransiskus Suandi. Liturgi diperkaya dengan dukungan para petugas: organis Ibu Martha Koleta Popyzesika, lektor Ibu Monica Alvian Yona, pemazmur Saudari Virginia, serta Tim Koor Maria Serva Evangelii (MSE) dengan dirigen Saudara Hendrik yang membawa umat masuk dalam suasana doa dan sukacita.
Suasana Perayaan: Hari Bersejarah di Paroki
Sejak pagi hari, halaman dan pelataran Gereja Santo Agustinus Paya Kumang telah dipenuhi umat. Beberapa keluarga bahkan datang dari luar kota untuk mendampingi anak-anak mereka yang menerima Krisma. Suasana penuh semangat terlihat dari wajah-wajah para krismawan-krismawati yang rapi dengan busana terbaik mereka.
Bendera-bendera kecil dipasang di sekitar gereja, hiasan altar tampak megah dengan rangkaian bunga segar, dan suasana liturgi dipersiapkan dengan matang. Umat dari berbagai lingkungan hadir, tidak hanya untuk menyaksikan upacara sakramen, tetapi juga untuk memberikan dukungan doa bagi para penerima Krisma dan prodiakon yang dilantik.
Ketika lonceng gereja berdentang tanda misa dimulai, perarakan liturgis berlangsung khidmat. Salib, lilin, dan Kitab Suci diarak menuju altar. Lagu pembukaan bergema, dinyanyikan dengan penuh semangat oleh koor MSE, membuat suasana gereja dipenuhi rasa syukur dan haru.
Sakramen Krisma: Teguh dalam Roh Kudus
Bagian utama dari misa ini adalah penerimaan Sakramen Krisma. Satu per satu, para krismawan dan krismawati maju ke hadapan Bapa Uskup. Dengan penuh kelembutan, Mgr. Pius mengurapi dahi mereka menggunakan minyak krisma yang telah diberkati.
Dalam setiap pengurapan, beliau mengucapkan doa sakramental: “Terimalah tanda karunia Roh Kudus.” Kata-kata singkat ini mengandung makna mendalam: Roh Kudus kini sungguh hadir dan meneguhkan iman para penerima Krisma agar semakin dewasa dan siap menjadi saksi Kristus.
Suasana hening menyelimuti gereja. Orang tua tampak terharu, sebagian meneteskan air mata haru, menyadari bahwa anak-anak mereka kini telah diteguhkan dalam Roh Kudus untuk menjalani panggilan hidup Kristiani.
Krisma disebut sebagai sakramen kedewasaan iman. Setelah menerima Krisma, seorang Katolik tidak lagi hanya penerima ajaran, tetapi juga pewarta iman. Mereka dipanggil untuk mengambil bagian aktif dalam kehidupan menggereja, baik di altar, di lingkungan, maupun dalam masyarakat luas.
Pelantikan Prodiakon: Rekan Kerja dalam Pelayanan
Selain Krisma, misa ini juga menjadi momen penting karena adanya pelantikan delapan prodiakon baru. Para calon prodiakon ini telah melalui proses pembinaan rohani dan pastoral. Dengan penuh kerendahan hati, mereka maju ke hadapan Uskup, menerima doa peneguhan, serta salib pelayanan sebagai tanda pengutusan.
Prodiakon memiliki peran penting dalam kehidupan Gereja, terutama dalam membantu imam membagikan Komuni Kudus, memimpin ibadat sabda, dan melayani umat di lingkungan. Kehadiran mereka diharapkan dapat memperkuat pelayanan liturgi serta memperluas jangkauan pastoral Gereja.
Dalam homilinya, Bapa Uskup Mgr. Pius Riana Prapdi menekankan bahwa tugas prodiakon bukanlah kehormatan pribadi, melainkan tanggung jawab besar. “Kalian dipanggil untuk melayani, bukan untuk dilayani,” tegas beliau. Dengan semangat itu, delapan prodiakon resmi diutus menjadi rekan seperjalanan bagi para imam di Paroki Santo Agustinus Paya Kumang.
Homili Bapa Uskup: Menjadi Pribadi “JOSSS”
Homili Bapa Uskup: Menjadi Pribadi JOSSS
Pengantar (Refleksi Awal)
Homili dalam setiap perayaan Ekaristi selalu menjadi momen yang sangat dinantikan umat. Pada saat itulah sabda Allah dijelaskan, dijabarkan, dan dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari. Melalui homili, umat diajak untuk tidak hanya mendengar firman, tetapi juga meresapkan dan menghidupi firman itu dalam keseharian mereka. Bagi banyak umat, homili bukan sekadar uraian kata-kata, melainkan sebuah titik temu antara Injil yang abadi dan hidup manusia yang konkret, penuh dinamika, tantangan, dan harapan.
Ketika Bapa Uskup Mgr. Pius menyampaikan homilinya dengan gaya sederhana namun penuh makna, umat dapat merasakan kehangatan dan kedalaman pesan yang beliau bawa. Beliau tidak berbicara dengan bahasa yang sulit dipahami, melainkan dengan kata-kata yang menyentuh hati, dekat dengan kehidupan, dan relevan dengan tantangan zaman. Dari sekian banyak homili yang mungkin pernah didengar umat, ada kalanya sebuah homili menghadirkan “cahaya khusus” yang membuat umat terdiam, merenung, bahkan termotivasi untuk berubah. Itulah yang terjadi ketika Bapa Uskup memperkenalkan sebuah akronim sederhana namun sarat makna: JOSSS – Jadi Orang Sukacita, Suci, dan Smart.
Sekilas, kata “JOSSS” terdengar ringan, bahkan familiar bagi telinga orang Indonesia. Kata ini sering digunakan dalam percakapan sehari-hari sebagai ungkapan spontan ketika sesuatu terasa memuaskan, menyenangkan, atau luar biasa. Namun, di tangan Bapa Uskup, kata yang tampak sederhana ini diolah menjadi sebuah pedoman iman yang sangat mendalam. Kata “JOSSS” tidak lagi sekadar ekspresi budaya populer, tetapi berubah menjadi sebuah prinsip rohani, sebuah jalan hidup Kristiani yang aktual. Dengan kepiawaian seorang gembala, beliau mengubah hal yang akrab dalam keseharian umat menjadi pintu masuk untuk memahami panggilan Kristiani secara lebih radikal.
Dalam homili itu, Bapa Uskup menegaskan bahwa iman tidak boleh berhenti pada ritual. Iman yang hanya berhenti pada liturgi dan rutinitas ibadat akan kehilangan roh kehidupan. Iman sejati harus menjadi daya yang menggerakkan hidup sehari-hari. Itulah sebabnya, beliau menekankan makna menjadi pribadi JOSSS: menghadirkan sukacita, menjaga kesucian, dan hidup dengan cerdas sesuai tuntunan Roh Kudus. Dengan cara ini, iman bukan hanya tampak pada saat kita berlutut dalam doa, tetapi juga nyata ketika kita berdiri menghadapi pekerjaan, masalah, relasi, dan tantangan dunia modern.
Pengantar homili ini terasa sangat relevan dengan situasi umat di zaman sekarang. Banyak orang Katolik hidup di tengah dunia yang cepat berubah, penuh tekanan, dan sarat dengan arus globalisasi yang seringkali membuat manusia kehilangan arah. Dalam dunia yang kompetitif, kadang orang merasa sukacita itu semu, kesucian terasa jauh, dan kecerdasan hanya diukur dengan angka akademis. Bapa Uskup hadir membawa koreksi: iman tidak boleh kehilangan tiga dimensi itu. Kita dipanggil untuk menjadi pribadi yang penuh sukacita, menjaga kesucian, dan hidup dengan kecerdasan yang seutuhnya.
Namun, homili itu tidak berhenti di sana. Setelah menjelaskan akronim JOSSS, Bapa Uskup juga mengingatkan umat akan empat langkah menuju kesucian sebagaimana diajarkan Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exsultate. Keempat langkah itu sangat sederhana, namun menuntut komitmen nyata:
-
Jangan membicarakan keburukan orang lain.
-
Sediakan waktu untuk keluarga.
-
Doakan sesama.
-
Jadilah pribadi yang murah hati.
Pesan ini melengkapi akronim JOSSS. Jika JOSSS memberi arah umum tentang identitas orang beriman, maka empat langkah Paus Fransiskus menghadirkan jalan praktis bagaimana identitas itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Keduanya saling meneguhkan: JOSSS memberi visi besar, sementara empat langkah kesucian memberi cara konkrit untuk mewujudkan visi itu.
Sebagai sebuah pengantar, homili Bapa Uskup ini sungguh bagaikan sebuah kompas rohani. Kompas itu tidak hanya menunjukkan arah ke utara, melainkan menunjukkan jalan menuju hidup Kristiani yang matang, berakar pada iman, dan berbuah dalam tindakan. Pesan ini menjadi semakin penting ketika disadari bahwa banyak umat Katolik, terutama generasi muda, sedang mencari identitas mereka di tengah arus digitalisasi, sekularisme, dan budaya instan. Mereka membutuhkan pegangan yang jelas, sederhana, namun kuat. JOSSS memberikan itu semua: mudah diingat, sederhana diucapkan, tetapi sangat kaya makna jika direnungkan dan dihidupi.
Renungan ini tidak dimaksudkan untuk sekadar mengulang apa yang telah dikatakan Bapa Uskup, melainkan untuk menggali lebih dalam, merenungkan, dan menghidupi pesan tersebut dalam konteks hidup nyata. Bagian pengantar ini hendak membuka kesadaran kita bahwa homili bukanlah kata-kata yang lewat begitu saja, melainkan sabda yang menjadi undangan untuk perjalanan rohani. Kita diundang bukan hanya untuk mengangguk saat mendengar, tetapi untuk membiarkan kata itu membentuk diri kita.
Maka, ketika kita melanjutkan refleksi ini, kita akan masuk lebih jauh ke dalam makna JOSSS. Apa artinya menjadi pribadi sukacita di dunia yang penuh masalah? Bagaimana menjaga kesucian di tengah budaya yang sering meremehkan nilai rohani? Bagaimana menjadi cerdas, tidak hanya secara akademik tetapi juga dalam dimensi emosional dan spiritual? Semua pertanyaan ini akan kita telusuri, sambil terus mengingat bahwa iman yang sejati adalah iman yang berbuah dalam hidup nyata.
Dengan demikian, homili Bapa Uskup Mgr. Pius menjadi sebuah undangan. Undangan untuk keluar dari iman yang kering dan seremonial, menuju iman yang hidup, penuh sukacita, kudus, dan cerdas. Undangan ini tidak hanya berlaku bagi sebagian orang, melainkan bagi seluruh umat: anak-anak, remaja, orang muda, orang tua, bahkan para lansia. Semua dipanggil untuk menjadi pribadi JOSSS
Homili Bapa Uskup: Menjadi Pribadi JOSSS
Menggali Arti JOSSS
Ketika Bapa Uskup memperkenalkan akronim JOSSS sebagai pedoman iman, beliau sesungguhnya sedang meneguhkan panggilan dasar setiap orang beriman. Tidak ada orang Katolik yang dipanggil hanya untuk hidup biasa-biasa saja, sekadar mengikuti arus dunia tanpa arah. Sebaliknya, setiap orang Katolik dipanggil untuk menjadi pribadi yang penuh sukacita, menjaga kesucian, dan hidup cerdas sesuai tuntunan Roh Kudus. Akronim ini bukan sekadar permainan kata, melainkan sebuah undangan rohani yang sederhana namun dalam. Mari kita telusuri satu per satu makna dari JOSSS itu.
a. Sukacita: Karunia yang Tak Tergantikan
Sukacita adalah kata pertama dalam akronim JOSSS. Sukacita di sini bukan sekadar perasaan gembira karena segala sesuatu berjalan lancar. Sukacita bukan pula tawa sementara yang muncul karena hiburan atau kesenangan sesaat. Sukacita sejati, sebagaimana ditegaskan Bapa Uskup, lahir dari iman yang kokoh: iman akan Allah yang selalu menyertai. Sukacita ini adalah buah Roh Kudus yang meneguhkan hati, meski berada dalam situasi sulit sekalipun.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendapati orang yang tampaknya memiliki segalanya: harta, jabatan, dan pengaruh, namun wajahnya tampak murung dan hatinya resah. Sebaliknya, ada orang yang sederhana, mungkin hidup dalam keterbatasan, tetapi wajahnya selalu memancarkan ketenangan dan kegembiraan. Perbedaan itu terletak pada sumber sukacita. Jika sukacita hanya bersandar pada hal-hal duniawi, maka ia rapuh dan mudah hilang. Tetapi jika sukacita berakar dalam iman, maka ia menjadi kokoh, tak tergoyahkan oleh badai kehidupan.
Seorang Katolik yang hidup dalam sukacita sejati akan memancarkan energi positif ke sekitarnya. Ia akan membawa semangat ke rumah, ke sekolah, ke tempat kerja, bahkan ke ruang digital seperti media sosial. Sukacita yang tulus itu menular, menguatkan, dan menghibur. Dalam dunia yang sering dipenuhi berita duka, konflik, dan kesedihan, orang yang penuh sukacita hadir bagaikan lilin yang menyala dalam kegelapan.
b. Kesucian: Panggilan Universal
Kata kedua dalam akronim JOSSS adalah “Suci”. Dalam banyak benak umat, kesucian sering dipahami sebagai milik khusus kaum biarawan, biarawati, atau para imam. Namun Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exsultate menegaskan bahwa kesucian adalah panggilan bagi setiap orang. “Bersyukurlah dan bergembiralah,” demikian Paus menulis, sebab kita semua dipanggil untuk menjadi kudus dengan hidup penuh kasih, dalam pekerjaan sehari-hari, dalam keluarga, dalam setiap perjumpaan.
Kesucian sejati tidak ditandai oleh kesombongan rohani, melainkan oleh kerendahan hati. Orang yang hidup dalam kesucian bukanlah orang yang menampilkan diri sebagai “lebih suci dari yang lain,” melainkan ia yang jujur dalam bekerja, tulus dalam pelayanan, rendah hati dalam pergaulan, dan berani berkata benar sekalipun harus menanggung risiko. Kesucian adalah kualitas hidup yang menyeluruh, bukan sekadar ritual. Ia hadir ketika seorang ibu dengan sabar mendampingi anak-anaknya, ketika seorang guru dengan tulus membimbing siswanya, ketika seorang pekerja memilih jujur meskipun ada kesempatan untuk berbuat curang.
Kesucian juga berarti menjaga hati dari noda kebencian, iri hati, atau kesombongan. Di zaman media sosial, godaan untuk jatuh dalam dosa lidah menggosip, menyebar hoaks, atau mencaci orang lain—sangat besar. Kesucian menuntut kita menjaga kata-kata, menahan diri dari komentar yang menyakiti, serta memilih untuk membangun daripada meruntuhkan. Dengan demikian, kesucian tidak lagi terasa jauh dan sulit, tetapi menjadi sesuatu yang nyata dalam keseharian, dihidupi sedikit demi sedikit, langkah demi langkah.
c. Smart: Cerdas dalam Roh Kudus
Kata terakhir dalam akronim JOSSS adalah “Smart” atau cerdas. Pada pandangan pertama, istilah ini mungkin terdengar lebih duniawi dibandingkan dua kata sebelumnya. Namun, justru di sinilah letak kebijaksanaan Bapa Uskup. Dalam dunia modern, kecerdasan sering diukur dengan kemampuan akademik atau prestasi intelektual. Padahal, kecerdasan sejati adalah kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, kemampuan untuk mengambil keputusan bijak, dan kesediaan untuk menggunakan pengetahuan demi kebaikan bersama.
Orang yang smart secara rohani tahu bahwa teknologi bukan musuh, melainkan sarana yang harus digunakan dengan bijaksana. Media sosial, internet, dan perkembangan digital dapat menjadi sarana pewartaan Injil, sarana pendidikan iman, dan sarana mempererat relasi. Tetapi tanpa kebijaksanaan, semua itu bisa berubah menjadi perangkap: menyebarkan kebohongan, menumbuhkan kecanduan, atau menjerumuskan orang dalam kesepian yang mendalam. Maka, menjadi smart berarti membiarkan Roh Kudus menuntun dalam menggunakan kecerdasan yang kita miliki, agar tidak tersesat oleh arus zaman.
Bagi generasi muda, panggilan untuk menjadi smart sangat relevan. Mereka hidup dalam dunia yang serba cepat, di mana informasi datang bertubi-tubi, dan gaya hidup instan begitu menggoda. Dalam situasi ini, menjadi smart berarti berani mengatakan “tidak” pada hoaks, berani menolak budaya instan yang merusak, dan tetap teguh memegang nilai iman meskipun terasa tidak populer. Orang muda yang smart tidak hanyut dalam tren sesaat, tetapi mampu berdiri teguh di atas dasar iman.
JOSSS Sebagai Identitas Kristiani
Ketiga kata ini sukacita, suci, dan smart jika dirangkum menjadi JOSSS, menghadirkan sebuah identitas Kristiani yang menyeluruh. Sukacita menjaga hati tetap hangat. Kesucian menjaga jiwa tetap murni. Kecerdasan menjaga pikiran tetap jernih. Ketiganya membentuk pribadi yang utuh: hati, jiwa, dan pikiran yang diarahkan kepada Allah.
Inilah makna terdalam dari homili Bapa Uskup: bahwa iman tidak boleh berhenti pada ritual, tetapi harus menjelma menjadi sukacita yang nyata, kesucian yang hidup, dan kecerdasan yang bijak. Menjadi pribadi JOSSS berarti menjadi saksi Kristus di dunia modern, menghadirkan Injil tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan wajah yang gembira, hidup yang murni, dan pikiran yang terang
Homili Bapa Uskup: Menjadi Pribadi JOSSS
Empat Langkah Kesucian: Pedoman Praktis Hidup Kristiani
Setelah menguraikan makna JOSSS, Bapa Uskup Mgr. Pius tidak berhenti pada tataran visi. Beliau melengkapi pesan itu dengan jalan praktis: empat langkah kesucian sebagaimana ditunjukkan oleh Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exsultate. Empat langkah ini sederhana, tetapi justru karena kesederhanaannya, ia dapat menjadi pegangan hidup sehari-hari. Kesucian bukan lagi sesuatu yang jauh, melayang di awan, atau hanya milik para orang kudus dalam sejarah. Kesucian itu bisa kita tapaki di dapur rumah tangga, di meja kerja, di ruang kelas, bahkan di dunia maya. Mari kita renungkan keempat langkah ini satu per satu.
Menjaga Lidah: Berhenti Membicarakan Keburukan Orang Lain
Langkah pertama yang ditekankan Paus Fransiskus adalah tidak membicarakan keburukan orang lain. Lidah, meskipun kecil, memiliki kekuatan besar: ia bisa menghibur atau melukai, bisa membangun atau meruntuhkan. Rasul Yakobus pernah menulis bahwa lidah itu seperti api kecil yang dapat membakar seluruh hutan. Dengan kata lain, gosip, fitnah, dan kata-kata kasar memiliki dampak yang sangat luas, bahkan lebih luas daripada yang bisa kita bayangkan.
Dalam keseharian, godaan untuk membicarakan orang lain hampir selalu ada. Di tempat kerja, dalam kelompok pertemanan, bahkan dalam komunitas gereja, kita sering kali tergoda untuk menceritakan kelemahan sesama. Gosip terasa manis sesaat, tetapi ia merusak jiwa, mengotori hati, dan memecah belah persaudaraan.
Maka, menjaga lidah bukan sekadar menahan diri dari gosip. Lebih dari itu, menjaga lidah berarti memilih untuk menggunakan kata-kata yang membangun, memberi semangat, dan menyembuhkan. Kesucian dimulai dari mulut yang bersih, dari kata-kata yang menyalurkan kasih, bukan kebencian. Ketika kita berani berhenti membicarakan keburukan orang lain, kita sedang melatih hati untuk lebih peka terhadap kebaikan.
Waktu untuk Keluarga: Menjadikan Rumah Sebagai Sekolah Iman
Langkah kedua adalah menyediakan waktu untuk keluarga. Paus Fransiskus berulang kali menekankan pentingnya keluarga sebagai “Gereja rumah tangga”. Di sanalah iman pertama-tama ditanamkan, kasih pertama-tama dialami, dan kesetiaan pertama-tama diuji. Namun, realitas zaman ini membuat keluarga sering terancam. Kesibukan pekerjaan, arus teknologi, dan gaya hidup individualis sering membuat anggota keluarga jauh satu sama lain, meski tinggal di bawah satu atap.
Memberi waktu untuk keluarga bukan hanya soal hadir secara fisik, melainkan hadir dengan hati. Seorang ayah yang pulang ke rumah tetapi sibuk dengan telepon genggamnya, sesungguhnya belum benar-benar hadir. Seorang ibu yang lelah bekerja lalu menumpahkan kekesalan pada anak-anak, juga kehilangan kesempatan emas untuk menjadi teladan kasih. Waktu untuk keluarga berarti menyediakan ruang bagi percakapan, doa bersama, makan bersama, dan tawa bersama.
Kesucian dalam keluarga lahir dari momen-momen sederhana itu. Anak-anak belajar tentang kasih Allah ketika mereka melihat ayah-ibunya saling mengampuni. Pasangan suami-istri tumbuh dalam kesucian ketika mereka memilih setia meski dalam kesulitan. Orang tua menjadi kudus ketika mereka rela berkorban demi anak-anaknya tanpa pamrih. Dengan demikian, keluarga sungguh menjadi sekolah iman, tempat kesucian ditanam dan dipelihara dari hari ke hari.
Doa Bagi Sesama: Membuka Hati pada Kebutuhan Orang Lain
Langkah ketiga adalah mendoakan sesama. Doa sering dipahami sebagai komunikasi pribadi dengan Allah. Namun Paus Fransiskus mengingatkan bahwa doa sejati tidak boleh egois. Doa sejati selalu membuka hati kepada kebutuhan orang lain. Ketika kita menyebut nama seseorang dalam doa, sesungguhnya kita sedang membawa dia ke hadapan Allah, memohon agar kasih Allah menyentuh hidupnya.
Mendoakan sesama bukan sekadar ritual. Ia melatih empati dan kasih. Sering kali kita tidak mampu mengubah situasi orang lain, tetapi kita mampu membawa mereka dalam doa. Doa itu bagaikan benang tak kasat mata yang mengikat hati kita dengan hati mereka, dan mengikat keduanya dengan hati Allah.
Kesucian yang lahir dari doa bagi sesama adalah kesucian yang penuh belas kasih. Orang yang mendoakan sesamanya akan lebih sulit membencinya. Ia akan lebih mudah mengampuni, karena hatinya sudah dilatih untuk menyerahkan orang lain kepada Allah. Di tengah dunia yang sering mendorong kita untuk hidup individualis, doa bagi sesama menjadi cara nyata untuk menjaga solidaritas rohani.
Murah Hati: Berbagi Tanpa Perhitungan
Langkah keempat adalah menjadi pribadi yang murah hati. Murah hati berarti berani memberi, bukan dari kelebihan, melainkan dari kekurangan. Murah hati berarti berani berbagi, bukan karena kita berhutang budi, melainkan karena kita ingin meneladani Kristus yang rela mengorbankan diri-Nya.
Murah hati bukan hanya soal uang atau materi. Murah hati bisa berarti memberi waktu untuk mendengarkan, memberi tenaga untuk membantu, atau memberi perhatian kepada mereka yang kesepian. Murah hati adalah sikap batin yang melihat setiap orang sebagai saudara, bukan sebagai ancaman atau pesaing.
Kesucian yang lahir dari kemurahan hati sangat indah, karena ia menghadirkan wajah Kristus di dunia. Yesus sendiri datang untuk melayani, bukan untuk dilayani. Ia memberi diri sampai habis, bahkan sampai wafat di salib. Orang Katolik yang murah hati menjadi saksi kecil dari kasih yang besar itu.
Empat Langkah sebagai Jalan Kesucian Harian
Jika direnungkan, keempat langkah ini bukanlah hal yang spektakuler. Tidak ada yang mustahil. Semua bisa dilakukan siapa saja, di mana saja. Justru kesederhanaannya membuat langkah ini begitu kuat. Kesucian tidak lagi terasa jauh, melainkan hadir dalam setiap pilihan sehari-hari: memilih diam daripada menggosip, memilih berkumpul dengan keluarga daripada tenggelam dalam kesibukan, memilih berdoa bagi sesama daripada sibuk dengan diri sendiri, memilih berbagi daripada menutup hati.
Empat langkah ini meneguhkan pesan JOSSS. Sukacita lebih mudah lahir jika lidah kita dijaga. Kesucian semakin nyata jika keluarga dijadikan prioritas. Kecerdasan sejati tampak ketika doa bagi sesama menjadi kebiasaan, dan kemurahan hati menjadi gaya hidup. Dengan demikian, akronim JOSSS tidak berhenti sebagai slogan, melainkan menjadi nyata dalam tindakan.
Homili Bapa Uskup: Menjadi Pribadi JOSSS
Keterpaduan JOSSS dan Empat Langkah Kesucian
Setelah merenungkan tiga pilar JOSSS sukacita, kesucian, dan smart serta empat langkah kesucian dari Gaudete et Exsultate, kita melihat bahwa keduanya bukanlah dua jalan yang terpisah. Sebaliknya, keduanya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. JOSSS memberikan gambaran identitas: siapa kita sebagai orang Katolik yang hidup di dunia. Sementara itu, empat langkah kesucian memberikan panduan konkret: bagaimana identitas itu dijalani dari hari ke hari.
1. Sukacita dan Menjaga Lidah
Sukacita yang sejati akan sulit tumbuh jika lidah kita terus digunakan untuk menyakiti orang lain. Kata-kata yang penuh gosip, fitnah, atau hujatan akan meracuni hati, mengurangi damai, dan memadamkan sukacita. Maka, menjaga lidah bukan hanya soal etika, tetapi juga soal melindungi sukacita rohani. Orang yang berani berhenti membicarakan keburukan sesamanya sedang memelihara taman sukacita dalam hatinya.
Di sisi lain, sukacita sejati mendorong kita untuk berkata baik. Ketika hati penuh kegembiraan iman, lidah akan lebih mudah mengucapkan kata-kata penghiburan, syukur, dan pujian. Dengan demikian, sukacita dan menjaga lidah bukanlah dua hal terpisah, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama.
2. Kesucian dan Waktu untuk Keluarga
Kesucian, sebagaimana ditegaskan Bapa Uskup, bukan hanya untuk biarawan-biarawati, tetapi untuk semua orang. Kesucian itu paling nyata justru dalam keluarga. Dengan menyediakan waktu untuk keluarga, kita sedang menjaga altar pertama iman kita.
Banyak orang jatuh dalam ilusi bahwa kesucian harus dicari dalam doa-doa panjang, ziarah, atau kegiatan rohani khusus. Semua itu penting, tetapi jika mengabaikan keluarga, kesucian menjadi pincang. Anak-anak yang jarang mendapat perhatian, pasangan hidup yang diabaikan, orang tua yang ditelantarkan semua itu berlawanan dengan semangat kesucian. Maka, menyediakan waktu untuk keluarga bukan hanya soal tanggung jawab manusiawi, melainkan juga jalan menuju kesucian.
3. Smart dan Doa bagi Sesama
Menjadi cerdas (smart) bukanlah sekadar menguasai teknologi atau informasi. Orang yang benar-benar smart tahu bahwa kecerdasan sejati datang dari kebijaksanaan Roh Kudus. Salah satu tanda orang smart secara rohani adalah kesediaannya mendoakan sesama.
Mengapa? Karena doa melatih perspektif yang lebih luas. Ketika kita mendoakan orang lain, kita sedang keluar dari egoisme, membuka diri pada kebutuhan dunia. Orang yang hanya memikirkan diri sendiri mungkin cerdas secara intelektual, tetapi belum tentu bijaksana. Doa bagi sesama melatih kita untuk menggunakan kecerdasan bukan demi kepentingan pribadi, tetapi demi kebaikan bersama.
Generasi muda yang terbiasa mendoakan sesamanya akan lebih tahan terhadap egoisme digital yang sering menutup mata terhadap penderitaan orang lain. Dengan doa, mereka belajar menggunakan teknologi untuk solidaritas, bukan untuk persaingan semata.
4. JOSSS dan Murah Hati
Pada akhirnya, seluruh pesan JOSSS menemukan puncaknya dalam kemurahan hati. Sukacita sejati akan mendorong kita berbagi kegembiraan dengan orang lain. Kesucian sejati akan tampak dalam kerelaan berkorban. Kecerdasan sejati akan menghasilkan keputusan untuk menolong, bukan untuk menindas.
Menjadi murah hati adalah ujian tertinggi dari JOSSS. Jika sukacita hanya berhenti dalam hati sendiri, ia akan layu. Jika kesucian hanya dinikmati pribadi, ia bisa berubah menjadi kesombongan. Jika kecerdasan hanya dipakai untuk diri sendiri, ia akan kering. Murah hati menyelamatkan semuanya: sukacita bertambah ketika dibagikan, kesucian semakin murni ketika dihidupi dalam kasih, dan kecerdasan semakin berbuah ketika dipakai untuk melayani.
Relevansi bagi Hidup Kristiani di Era Modern
Pesan Bapa Uskup terasa sangat relevan bagi kita yang hidup di zaman digital, global, dan penuh dinamika. Mari kita lihat bagaimana JOSSS dan empat langkah kesucian bisa diterapkan dalam tiga bidang utama: keluarga, kaum muda, dan masyarakat luas.
a. Dalam Keluarga
Keluarga adalah tempat pertama untuk belajar menjadi pribadi JOSSS. Orang tua yang penuh sukacita akan menciptakan suasana rumah yang hangat. Pasangan yang menjaga kesucian pernikahan menjadi teladan bagi anak-anak. Keluarga yang cerdas dalam mengelola waktu, teknologi, dan relasi akan menjadi rumah yang sehat.
Empat langkah kesucian pun menemukan tempatnya di sini: lidah yang dijaga menghindarkan konflik, waktu yang disediakan memperkuat ikatan, doa bagi anggota keluarga melahirkan rasa syukur, dan kemurahan hati membuat keluarga menjadi berkat bagi sesama. Dengan demikian, keluarga sungguh menjadi Gereja rumah tangga yang kudus.
b. Dalam Kehidupan Orang Muda
Orang muda sering kali menghadapi tekanan besar dari dunia: tuntutan prestasi, arus informasi, dan godaan gaya hidup instan. Bagi mereka, menjadi pribadi JOSSS berarti berani menolak sukacita palsu yang ditawarkan dunia, menjaga kesucian diri di tengah godaan moral, dan menggunakan kecerdasan untuk membangun masa depan yang kokoh.
Empat langkah kesucian juga sangat relevan bagi orang muda. Dengan menjaga lidah, mereka belajar membangun komunitas positif. Dengan memberi waktu untuk keluarga, mereka tidak kehilangan akar. Dengan mendoakan sesama, mereka membangun empati. Dengan murah hati, mereka menjadi agen perubahan yang membawa harapan bagi dunia.
c. Dalam Kehidupan Masyarakat
Di tengah masyarakat yang terpecah oleh konflik, politik, dan kepentingan pribadi, menjadi pribadi JOSSS adalah sebuah kesaksian yang menyegarkan. Sukacita membawa harapan di tengah pesimisme. Kesucian menghadirkan integritas di tengah korupsi. Kecerdasan menghadirkan solusi di tengah kebingungan.
Ketika umat Katolik sungguh menghidupi empat langkah kesucian, masyarakat akan merasakan buahnya. Gosip yang merusak akan berkurang. Keluarga menjadi lebih kokoh. Solidaritas lahir dari doa dan kemurahan hati. Dengan demikian, pesan sederhana dari Bapa Uskup dapat membawa transformasi yang nyata, bukan hanya dalam Gereja, tetapi juga dalam masyarakat luas.
Penutup Menjadi Pribadi JOSSS di Jalan Kekudusan
Homili Bapa Uskup Mgr. Pius tentang pribadi JOSSS bukanlah sekadar kata-kata indah. Ia adalah sebuah undangan, sebuah ajakan untuk menjadikan iman sebagai sumber hidup yang nyata. Dengan akronim sederhana, beliau menyalakan api kesadaran bahwa setiap orang Katolik dipanggil untuk hidup penuh sukacita, menjaga kesucian, dan cerdas dalam Roh Kudus.
Empat langkah kesucian yang diajarkan Paus Fransiskus melengkapi undangan itu dengan panduan praktis. Jangan membicarakan keburukan orang lain. Sediakan waktu untuk keluarga. Doakan sesama. Jadilah pribadi yang murah hati. Keempat langkah ini, meski tampak sederhana, adalah jalan-jalan kecil yang membawa kita pada kesucian sejati.
Jika keduanya dipadukan, JOSSS dan empat langkah kesucian, kita memiliki peta perjalanan rohani yang lengkap. JOSSS memberi arah, empat langkah memberi langkah konkret. JOSSS menyalakan visi, empat langkah mengajarkan disiplin. JOSSS membentuk identitas, empat langkah menuntun praksis.
Pada akhirnya, menjadi pribadi JOSSS adalah panggilan bagi kita semua: untuk menghadirkan wajah Kristus yang penuh sukacita, hati Kristus yang suci, dan kebijaksanaan Kristus yang cerdas. Dunia membutuhkan saksi seperti itu. Gereja membutuhkan umat seperti itu. Dan Allah sendiri mengundang kita untuk menjadi seperti itu.
Semoga, dengan rahmat Roh Kudus, kita mampu menjawab undangan ini. Semoga sukacita kita menular, kesucian kita bertumbuh, dan kecerdasan kita berbuah. Semoga lidah kita terjaga, keluarga kita dipelihara, doa kita meluas, dan kemurahan hati kita melimpah. Dengan demikian, kita benar-benar menjadi pribadi JOSSS yang menghadirkan Kerajaan Allah di dunia.
Menggali Pesan “JOSSS”: Jalan Hidup Kristiani
Empat Langkah Kesucian: Pedoman Praktis Hidup Kristiani
Pesan Paus Fransiskus yang ditegaskan kembali oleh Bapa Uskup sangat praktis untuk dijalankan
Menjaga lidah: berhenti membicarakan keburukan orang lain.
Waktu untuk keluarga: menjadikan keluarga sebagai sekolah iman.
Doa bagi sesama: mengembangkan empati melalui doa.
Murah hati: berbagi tanpa perhitungan, meneladani Kristus yang rela berkorban.
Keempat langkah ini sederhana, tetapi jika dihidupi, akan membawa transformasi besar dalam Gereja dan masyarakat.
Suara Umat: Antusiasme dan Harapan
Beberapa umat memberikan kesaksian tentang perayaan ini.
Relevansi Bagi Kaum Muda dan Gereja Masa Kini
Pesan JOSSS dan empat langkah kesucian sangat relevan bagi kaum muda yang hidup di era globalisasi. Sukacita menjaga mereka dari keputusasaan, kesucian menjadi kompas moral, kecerdasan menolong mereka bertahan di dunia digital, sementara kemurahan hati meneguhkan peran mereka sebagai saksi Kristus.
Bagi Gereja, kehadiran 106 Orang krismawan-krismawati baru dan delapan 8 Orang prodiakon adalah tanda harapan. Mereka adalah generasi penerus yang siap melanjutkan karya misi Gereja di Ketapang.
Penutup: Gereja yang Hidup dan Penuh Harapan
Misa penerimaan Krisma dan pelantikan prodiakon di Paroki Santo Agustinus Paya Kumang bukan hanya seremoni, tetapi sebuah peristiwa iman yang meneguhkan seluruh umat. Pesan Bapa Uskup Mgr. Pius Rian Prapdi untuk menjadi pribadi “JOSSS” serta menghidupi empat langkah kesucian menjadi bekal bagi umat untuk menjalani hidup Kristiani yang otentik.
Dengan semangat ini, Paroki Santo Agustinus Paya Kumang dipanggil untuk menjadi Gereja yang hidup, penuh sukacita, cerdas menghadapi zaman, dan murah hati dalam pelayanan. Inilah Gereja yang diimpikan: Gereja yang menjadi tanda kasih Kristus di dunia.
📍Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
🕊️ Gembala Umat, Pelita Iman, Sahabat Jiwa
Ditulis oleh: Tim Redaksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
Tanggal: 22 September 2025
0 comments:
Posting Komentar