Merawat Ciptaan, Menabur Harapan: Paroki Santo Agustinus Paya Kumang Rayakan Misa Peringatan 10 Tahun Laudato Si’
Umat Katolik diajak kembali pada pertobatan ekologis, menegaskan iman yang berpihak pada Allah dan bukan pada mamon.
Ketapang, Minggu 5 Oktober 2025 .Dalam kesejukan pagi yang dilingkupi warna liturgi hijau, tanda harapan dan kehidupan baru, umat Paroki Santo Agustinus Paya Kumang, Ketapang, berkumpul dengan hati penuh syukur merayakan Hari Minggu Biasa XXVII. Perayaan ini sekaligus menjadi momen reflektif mengenang Santa Faustina Kowalska, Rasul Kerahiman Ilahi, serta Santa Anna Maria Gallo, pengaku iman.
Perayaan Ekaristi kudus dipimpin oleh RP. Vitalis Nggeal, CP, dengan petugas liturgi dari berbagai unsur umat: Saudara Tiofilius Pransisko sebagai lektor, Saudari Feby Cinndi Alita sebagai pemazmur, Ibu Maria Theresia Budi Supri Handini sebagai dirigen, Saudari Cintia sebagai organis, dan koor Lingkungan Santo Rafael yang mengiringi umat dengan lantunan penuh semangat iman.
Gema nyanyian pembuka “Bersyukurlah kepada Tuhan” menggema lembut dari dalam gereja, mengawali misa yang dihadiri ratusan umat dari berbagai lingkungan. Dengan penuh kesungguhan, mereka datang bukan hanya untuk memenuhi kewajiban rohani, tetapi juga untuk memperdalam panggilan iman terhadap bumi yang mereka diami bersama seluruh ciptaan Tuhan.
Liturgi Ekaristi: Iman yang Hidup dalam Kesederhanaan dan Syukur
Dari altar utama yang dihiasi bunga sederhana berwarna hijau alami, Romo Vitalis membuka perayaan dengan sapaan hangat:
“Selamat pagi Bapak, Ibu, Saudara-Saudari, dan adik-adik terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus. Hari ini, kita tidak hanya merayakan Ekaristi Minggu Biasa XXVII, tetapi juga memperingati sepuluh tahun perjalanan ensiklik Laudato Si’ ajaran Paus Fransiskus yang mengingatkan kita untuk mencintai bumi, rumah bersama kita.”
Nada pastoralnya lembut namun tegas. Dalam setiap kalimat, terasa semangat gembala yang menggugah hati umat untuk kembali merenungkan peran mereka sebagai penjaga ciptaan.
Kidung pembuka, doa tobat, serta madah kemuliaan mengalun syahdu, menuntun umat memasuki suasana batin yang hening. Misa hari itu tidak hanya menjadi ritus liturgi biasa, melainkan perjumpaan rohani antara iman dan tanggung jawab ekologis.
Homili: Sepuluh Tahun Laudato Si’ Peziarahan Harapan, Pertobatan, dan Tindakan
Dalam homilinya yang menyentuh dan padat makna, Romo Vitalis Nggeal, CP mengajak umat untuk merenungkan pesan besar dari Laudato Si’ ensiklik Paus Fransiskus yang diterbitkan pada 24 Mei 2015, yang kini genap 10 tahun.
“Perayaan hari ini,” tutur Romo Vitalis, “adalah perayaan syukur atas sepuluh tahun perjalanan Laudato Si’. Namun, bukan sekadar mengenang sebuah dokumen, melainkan memeriksa batin: sejauh mana kita, umat Katolik, sudah menjawab panggilan pertobatan ekologis yang diajarkan Paus Fransiskus.”
1. Refleksi dan Syukur atas Perjalanan Laudato Si’
Romo Vitalis menjelaskan bahwa Laudato Si’ bukan sekadar ajaran tentang lingkungan, tetapi seruan untuk membangun spiritualitas ekologis. Ia menegaskan bahwa semua ciptaan memiliki nilai di hadapan Allah, dan manusia diutus bukan untuk menguasai, melainkan mengusahakan dan memelihara bumi (bdk. Kej 2:15).
“Kita bersyukur atas 10 tahun perjalanan ajaran ini,” lanjutnya, “sebab di dalamnya tersimpan kesadaran mendalam bahwa iman Kristen tidak pernah bisa dilepaskan dari tanggung jawab ekologis. Kita tidak dapat memuji Sang Pencipta sambil menghancurkan karya ciptaan-Nya.”
Dalam keheningan umat yang menyimak, Romo Vitalis mengajak mereka untuk memandang kembali bumi yang kini terluka oleh keserakahan manusia dari hutan yang digunduli hingga laut yang tercemar, dari udara yang sesak polusi hingga tanah yang kehilangan kesuburan.
2. Panggilan Pertobatan Ekologis
Romo Vitalis kemudian mengajak umat untuk melakukan pertobatan ekologis sebuah panggilan yang amat ditekankan Paus Fransiskus dalam Laudato Si’.
“Pertobatan ekologis adalah langkah iman,” tegas Romo. “Ia bukan tren sosial atau gerakan hijau semata, melainkan panggilan rohani untuk mengubah cara kita berelasi dengan ciptaan.”
Pertobatan ini, lanjut Romo, harus dimulai dari hal-hal kecil yang bisa dilakukan oleh setiap umat:
Mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Menanam pohon atau bunga di rumah masing-masing.
Memilah dan membuang sampah dengan bijak.
Menggunakan air dan listrik secara hemat.
Menghindari gaya hidup konsumtif
“Jika setiap keluarga Katolik memulai dari langkah-langkah kecil ini,” ujarnya, “maka Paroki Santo Agustinus akan menjadi tanda nyata kasih Allah bagi bumi.”
3. Reconnect, Learn, Celebrate Semangat Laudato Si’
Dalam bagian reflektif homilinya, Romo Vitalis menyampaikan tiga kata kunci dari semangat Laudato Si’: Reconnect, Learn, dan Celebrate.
Reconnect berarti kembali terhubung dengan Allah, sesama, dan ciptaan.
Learn berarti membuka diri untuk belajar dari alam dan dari pengalaman sesama.
Celebrate berarti merayakan kehidupan sebagai anugerah, bukan sebagai milik pribadi.
Romo menegaskan bahwa spiritualitas ekologis tidak hanya bicara soal “tidak merusak alam”, tetapi juga menghidupi relasi kasih yang mendalam dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan.
“Kita diajak bukan hanya untuk menjaga alam, tetapi juga untuk memulihkan relasi yang rusak antara manusia dan bumi. Alam menangis karena dosa keserakahan manusia. Maka, pertobatan ekologis adalah jalan menuju rekonsiliasi dengan Allah melalui ciptaan-Nya.”
4. Bumi yang Terluka dan Bahaya Mamon
Bagian homili yang paling kuat terasa ketika Romo Vitalis menyinggung tentang “Mamon”, simbol keserakahan dan materialisme yang menguasai dunia modern.
“Mamon,” katanya lantang, “adalah raja keserakahan yang memperbudak manusia. Ia membuat hati manusia keras dan mata buta terhadap penderitaan bumi.”
Romo melanjutkan dengan refleksi mendalam tentang realitas dunia:
-
“Gunung-gunung berdoa mencari korban, karena dirusak tambang.”
-
“Sungai dan laut tercemar karena kerakusan industri.”
-
“Udara dipenuhi racun, karena pohon ditebang tanpa belas kasih.”
-
“Hati manusia mengeras, karena melihat bumi bukan sebagai ibu, tetapi sebagai tambang uang.”
Ia menegaskan kembali pesan Yesus dalam Injil: “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan: kepada Allah dan kepada Mamon.” (Mat 6:24)
Yesus mengingatkan bahwa iman sejati tidak dapat hidup berdampingan dengan keserakahan. Maka, jika kita ingin menjadi murid Kristus, kita harus berpihak pada Allah, bukan pada Mamon.”
5. Ajakan Konkret: Iman yang Bertindak
Homili diakhiri dengan seruan pastoral yang konkret dan menyentuh:
“Dunia ini masih bisa diperbaiki. Mari kita mulai dari lingkungan masing-masing. Tanam bunga, tanam pohon khas Kalimantan. Jika datang ke gereja membawa kantong plastik, mohon dibawa kembali. Di rumah, pisahkan sampah dan tanamlah tanaman obat atau pohon buah.”
Romo menutup homili dengan doa singkat:
“Semoga kita menjadi umat yang bersyukur, bukan yang serakah. Semoga kita menjadi sahabat bumi, bukan perusak alam. Dan semoga Laudato Si’ meneguhkan langkah kita untuk berpihak kepada Allah, bukan kepada Mamon.”
Liturgi Persembahan: Syukur atas Hasil Bumi
Pada saat persembahan, umat membawa hasil bumi — sayuran, buah, dan tanaman kecil — sebagai simbol syukur atas anugerah ciptaan. Persembahan itu diletakkan di depan altar dengan iringan lagu “Kami Puji Sang Pencipta”.
Makna simbolik persembahan ini menggambarkan relasi erat antara manusia dan bumi, bahwa segala hasil ciptaan adalah anugerah yang mesti dikembalikan kepada Tuhan dengan rasa syukur.
Rangkaian doa syukur agung dilantunkan dengan khidmat, dan umat bersatu dalam doa: memohon agar Tuhan menjadikan mereka pelindung ciptaan, bukan perusak bumi.
Keterlibatan Lingkungan Santo Rafael dan Umat Paroki
Koor Lingkungan Santo Rafael mengiringi misa dengan lagu-lagu bertema ciptaan, seperti “Bumi dan Langit Pujilah Tuhan” serta “Pujian bagi Sang Khalik”. Suara harmonis paduan suara berpadu dengan dentingan lembut organ, menciptakan suasana doa yang mendalam.
Saudari Feby Cinndi Alita, pemazmur, memimpin umat dalam mazmur tanggapan dengan penuh penghayatan. Suaranya jernih dan mantap saat melantunkan bait:
“Kiranya wajah-Mu menyinari kami, ya Tuhan, agar bumi ini dipenuhi kasih dan damai-Mu.”
Keterlibatan berbagai unsur umat menunjukkan semangat kebersamaan: anak-anak bertugas sebagai misdinar, remaja sebagai pembawa persembahan, dan para ibu dari Lingkungan Santo Rafael mengatur dekorasi altar dengan sentuhan hijau alami.
Gerakan Nyata: Dari Liturgi ke Aksi Ekologis
Usai misa, di halaman gereja dilakukan penyerahan simbolis bibit pohon kepada perwakilan umat dari setiap lingkungan. Bibit tersebut terdiri dari tanaman keras lokal seperti meranti, ulin, dan rambutan hutan, melambangkan komitmen paroki untuk melestarikan flora khas Kalimantan Barat.
Ketua Panitia Lingkungan, Ibu Maria Theresia Budi Supri Handini, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari program “Taman Hijau Paroki”, sebuah inisiatif pastoral yang diilhami oleh semangat Laudato Si’.
“Kami ingin menjadikan pekarangan gereja sebagai ruang doa dan taman kehidupan,” ujarnya. “Setiap umat boleh menanam, merawat, dan berdoa di tempat ini sebagai tanda iman yang hidup dan bertanggung jawab.”
Sementara itu, para remaja OMK (Orang Muda Katolik) ikut membagikan stiker bertuliskan “Laudato Si’ Terpujilah Engkau, Tuhan, atas Rumah Bersama Kami”, mengajak umat untuk meneruskan semangat ekologis dalam kehidupan sehari-hari.
Makna Universal: Laudato Si’ dalam Konteks Gereja Global
Perayaan di Paroki Santo Agustinus ini selaras dengan perayaan Gereja Universal. Di berbagai belahan dunia, umat Katolik menandai 10 tahun Laudato Si’ sebagai momentum global untuk memperbarui komitmen iman terhadap krisis ekologi.
Vatikan melalui Dikasteri untuk Promosi Pembangunan Manusia Integral mengumumkan tahun 2025 sebagai tahun refleksi dan aksi ekologis yang berpuncak dalam Tahun Yubileum 2025: “Peziarahan Harapan”. Fokusnya: pemulihan relasi manusia dengan Allah, sesama, dan alam.
Dalam konteks Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengajak seluruh paroki untuk mengintegrasikan Laudato Si’ ke dalam pastoral lingkungan, pendidikan iman, dan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Penutup: Berkat dan Pengutusan
Sebelum berkat penutup, Romo Vitalis kembali menegaskan panggilan iman umat:
“Semoga Ekaristi hari ini memperbarui semangat kita untuk menjaga bumi. Jangan biarkan keserakahan menguasai hidup kita. Allah mempercayakan bumi ini kepada kita bukan untuk dirusak, melainkan untuk dirawat dengan kasih.”
Misa ditutup dengan lagu “Pujian bagi Sang Khalik”. Suara umat berpadu dengan lantunan organ yang mengalun lembut. Dari altar hingga halaman gereja, suasana penuh harapan terasa mengalir seakan bumi ikut bernyanyi bersama umat.
Epilog: Iman yang Menjadi Tindakan
Hari Minggu, 5 Oktober 2025, menjadi catatan berharga bagi Paroki Santo Agustinus Paya Kumang. Bukan hanya karena misa berjalan meriah dan khidmat, tetapi karena perayaan ini menegaskan kembali makna iman Katolik yang hidup: iman yang mencintai, iman yang peduli, iman yang bertindak.
Dalam kesederhanaan liturgi dan kedalaman pesan homili, umat diajak menapaki peziarahan baru — menjadi pelaku kasih yang nyata bagi bumi, rumah bersama yang kini membutuhkan sentuhan belas kasih manusia.
Sebagaimana doa penutup Laudato Si’ yang dikutip Romo Vitalis:
“Tuhan yang Mahakasih, ajarlah kami menemukan-Mu dalam keindahan alam semesta,sebab setiap makhluk bersaksi tentang kasih-Mu yang tiada batas.Pulihkan kami agar menjadi pelindung bumi, bukan perusaknya;pembawa harapan, bukan kecemasan;pencipta damai, bukan pencemar kehidupan.”
Dan dengan demikian, perayaan Ekaristi di Paroki Santo Agustinus Paya Kumang bukan sekadar misa Minggu biasa, tetapi sebuah kesaksian hidup iman yang menyalakan harapan baru bagi bumi, bagi sesama, dan bagi Allah yang telah menciptakan semuanya dalam kasih-Nya.
📍Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
🕊️ Gembala Umat, Pelita Iman, Sahabat Jiwa
Ditulis oleh: Tim Redaksi Komunikasi Sosial (Komsos) Paroki Santo Agustinus Paya Kumang
Tanggal: 5 Oktober 2025
0 comments:
Posting Komentar